**0 Bambang Sukamto, SH.MH.
*) Indra Saputra, SH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan penuh dengan keindahan. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan penuh kesempurnaan dibanding makhlukNya yang lain. Kesempurnaan tersebut telah menjadi hal yang umum di kehidupan sosial manusia dalam menjalankan aktifitasnya. Kesempurnaan manusia menjadi lebih baik manakala manusia tersebut hidup dengan membina rumah tangga dan disertai dengan adanya anak-anak yang menghiasi sebuah keluarga.
Anak merupakan kebahagiaan tersendiri dalam kehidupan manusia yang sempurna.
Anak merupakan penyejuk jiwa dan pelipur lara dikala orang tua jenuh. Adakalanya anak menjadi idaman dalam setiap keluarga yang dinanti-nanti kehadirannya. Oleh karena itu Islam sangat menghormati kedudukan anak, bahkan dikatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci.
Setiap kali memperingati Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli, setiap bayangan akan tertuju pada keceriaan anak Indonesia yang tengah bebas bermain di alam terbuka, atau mendapat hiburan di obyek wisata yang indah. Pada tanggal tersebut, seakan-akan anak-anak Indonesia telah menemukan dunia yang ceria.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar kelak mereka dapat memikul tanggung jawab, maka mereka berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Mereka juga berhak mendapatkan hak-haknya, serta dilindungi dan disejahterakan. Karenanya segala bentuk kekerasan pada anak harus dicegah dan diatasi.
Jika kita mendengar dan memperhatikan secara seksama, sebenarnya kekerasan terhadap anak sangatlah mengerikan. Mungkin karena itu, kita lebih sering menutup mata. Namun sejauh kita menghindar, sedekat itu pula kenyataan yang terus terjadi pada anak-anak di Indonesia.
Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks (beraneka ragam). Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitanya malah diwarnai oleh data kelam dan menyedihkan, yaitu anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.
Kekerasan terhadap anak banyak terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya, perlakuan yang salah terhadap anak (child abuse) bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural.
Kekerasan struktural merupakan kekerasan sistematik dan tidak tampak, namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian, dan penderitaan luar biasa, luas, dan berjangka panjang terhadap anak. Kekerasan struktural, yang sering disebut sebagai system abuse, dapat berupa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), control represif, praktik ekonomi monopolistik dan eksploitatif yang merugikan negara, dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi sosial ekonomi yang melahirkan dan menyuburkan akar kemiskinan dan kekerasan sosial terhadap anak. Salah satu contoh potret kekerasan struktural adalah perdagangan anak (child trafficking).
Kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja dan dalam situasi maupun kondisi yang tidak terduga sebelumnya. Orang terdekat seperti orang tua ataupun saudara bisa menjadi pelaku utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan hukum dan praktik budaya, bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan terhadap anak. Misalnya saja hukuman badan (corporal punishment) pada masyarakat tertentu adalah bentuk kekerasan terhadap anak seringkali lepas dari jeratan hukum dan secara budaya diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak. Anak yang pernah menerima kekerasan, kemungkinan akan melakukan hal yang sama kepada anaknya kelak. Begitupun yang sering melakukan perlakuan salah atau kekerasan terhadap anaknya, cenderung melakukan hal serupa pula pada istrinya.
Sebagai generasi penerus bangsa, anak selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindak kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dan dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Hal ini tentu perlu dilakukan, supaya di kemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (the lost generation).
Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Pasal 5 undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu:
1. Kekerasan fisik (physical abuse)
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. kekerasan fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya. Contohnya dapat berupa pemukulan, penyiksaan, dan penganiayaan dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu.
2. Kekerasan psikis (psychological abuse)
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh kekerasan psikis yaitu penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor.
3. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak dengan orang yang dewasa (pemaksaan, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan seksual juga merupakan setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Contohnya, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik, tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya.
Kebijakan dan program perlindungan anak yang bisa berdimensi global, nasional maupun lokal, dapat berperan sebagai piranti kelembagaan dalam melindungi anak dari tindakan kekerasan. Kebijakan adalah desain besar (grand design) yang ditujukan untuk merespon isu atau masalah tertentu secara sistematis, melembaga, dan berkelanjutan. Kebijakan berfungsi sebagai pedoman yang akan diimplementasikan oleh program aksi. Program aksi merupakan beragam tindakan (course of action) yang lebih aplikatif, berjangka waktu dan berwilayah geografis jelas.
Indonesia telah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi anak. Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan politik dan legislasi (kewajiban negara). Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua dan kepedulian masyarakat. Tanpa partisipasi dari masyarakat, pendekatan legal formal saja ternyata tidak cukup efektif melindungi anak.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Khusus Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”.
B. Identifikasi Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat permasalahan yang timbul dari kekerasan terhadap anak cukup banyak, maka peneliti membatasi permasalahan dalam tulisan ini hanya menyangkut pada kekerasan terhadap anak.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak di dalam keluarga ?
b. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002?
c. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002.
3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memperluas wawasan pengetahuan peneliti dalam ilmu hukum, khususnya hukum mengenai perlindungan anak.
2. Untuk memperluas informasi mengenai perlindungan anak yang dijamin oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
3. Merupakan suatu nilai tambah dalam bidang ilmu pengetahuan yang berguna di lingkungan Universitas khususnya dan di Masyarakat pada umumnya.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
a. Pengertian Perlindungan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Adalah tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi
b. Pengertian Anak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Adalah manusia yang masih kecil atau yang lebih kecil daripada yang lain
c. Pengertian Hukum Menurut Emmanuel Kant Kant :
Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi di masa terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum tentang kemerdekaan
d. Pengertian Hukum Menurut Oxford English Dictionary :
Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasan di mana suatu Negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya
e. Pengertian Korban Menurut Arif Gosita :
Korban adalah menjadi korban, menderita kerugian (mental, fisik, sosial), oleh sebab tindakan yang aktif atau pasif orang lain atau kelompok (swasta atau Pemerintah), baik secara langsung maupun tidak langsung
f. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Richard. J. Gelles :
Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak
g. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Barker :
Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak
h. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) :
Kekerasan terhadap anak adalah perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya jauh lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnnya berada di bawah tanggung jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat.
2. Kerangka Konseptual
a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 :
Pasal 27 Ayat (2) : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 (b) Ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Menurut Pasal 4 Undang –Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak :
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Pasal 52 :
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
d. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
“Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a). kekerasan fisik;
b). kekerasan psikis;
c). kekerasan seksual; atau
d). penelantaran rumah tangga.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif , artinya penelitian ini merujuk pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan hakim, serta doktrin-doktrin yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitis untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek penelitian.
Sedangkan tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan topik yang dibahas, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, jurnal, koran, majalah, dan internet serta melalui studi lapangan.
G. Lokasi dan Lama Penelitian
Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data-data dalam penelitian agar menjadi lengkap, maka data-data dikumpulkan dari perpustakaan, lembaga-lembaga yang terkait dengan objek penelitian yang berlokasi di Jakarta. Waktu yang di perlukan untuk penelitian serta penyusunan penelitian ini memerlukan waktu selama + 6 bulan.
HASIL PENELITIAN
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga
Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Suharto bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti :
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.
3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (Unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatkan faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme control sosial yang stabil.
Adapun penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu:
1. Pola asuh orang tua yang salah
Ardanti Ratna Widyastuti pada Psikolog perkembangan mengatakan :
“banyak orang tua yang berlaku kasar memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Sesungguhnya yang benar adalah bahwa pada saat itu anak sedang diberikan pelajaran kekerasan oleh orangtuanya. Karena esensinya, anak-anak adalah peniru ulung, anak-anak akan berperilaku sama jika mereka menghadapi situasi serupa. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi “budaya kekerasan”. Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20-30 tahun kedepan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang kita saksikan saat ini.”
Agresi psikologis itu, katanya, bisa membuat anak menjadi lebih sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Bisa jadi anak jadi kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak, rantai kekerasan itu akan terus berlanjut.
Child abuse jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya.
Anak bukan milik orang tua seutuhnya, anak hanyalah titipan Sang Pencipta. Maka hargailah anak dengan keterbatasannya sebagai individu yang utuh, bukan dianggap sebagai orang dewasa yang kecil.
2. Tekanan ekonomi
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari tahun ke tahun, melonjaknya Tarif Dasar Listrik (TDL), harga barang-barang keburutuhan yang tak terjangkau, biaya pendidikan mahal, akses pelayanan kesehatan yang minim, merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya, ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak. Bahkan yang lebih parah, jika kemiskinan ekonomi disertai dengan kemiskinan akidah, hal-hal keji yang lain dapat dengan mudah mereka lakukan. Misalnya dengan membunuh sang anak dengan tujuan menjual organ tubuhnya, menjualnya untuk dijadikan pekerja seks dan lain-lain.
3. Belum efektifnya perlindungan hukum bagi anak
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku selama enam tahun, tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyusut atau bahkan semakin terus terjadi (merajalela) terutama kekerasan seksual yang terus menghiasi media massa. Entah karena ketidaktahuan atau karena keengganan mereka, penegak hukum masih saja belum mau menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan lebih memilih Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.
1. Faktor orang tua/keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak di antaranya :
a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak :
1) Kepatuhan anak kepada orang tua.
2) Hubungan asimetris.
b. Dibesarkan dengan penganiayaan.
c. Gangguan mental.
d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.
e. Pecandu minuman keras dan obat.
2. Faktor lingkungan sosial/komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak di antaranya :
a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.
b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah.
c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
d. Status wanita yang dipandang rendah.
e. Sistem keluarga patriarkal.
f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.
3. Faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.
b. Perilaku menyimpang pada anak.
Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor : personal, sosial dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu:
1. Pewarisan kekerasan antar generasi.
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan pada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
2. Stres sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup : pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than-average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan (proverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindakan kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subyektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.
Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orang tua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti : kelemahan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orang tua dan meningkatkan resiko tindakan kekerasan.
3. Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orang tua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka mengatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menjadikan para orang tua ini kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.
4. Struktur keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang tanpa masalah.
Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek dimasa yang akan datang bagi anak-anak yang mengalaminya. Rusmil mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi risiko sebagai berikut:
1. Usia yang lebih pendek.
2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk.
3. Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah).
4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak.
5. Menjadi gelandangan.
Sementara itu, menurut Suharto dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara lain :
1. Cacat tubuh permanen.
2. Kegagalan belajar.
3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian.
4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain.
5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain.
6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.
7. Menjadi penganiaya ketika dewasa.
8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol.
9. Kematian.
Sedangkan Richard J. Gelles menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang luas (far-reaching). Luka-luka fisik, seperti : memar-memar (bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian (death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti : rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti : depresi (depression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety), atau gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya risiko bunuh diri (suicide).
Efek tindakan kekerasan pada anak, menurut penjelasan Moore dan Fentini Nugroho yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik sangat besar. Hal ini terungkapnya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically low self-esteem); ada pula yang sulit menjalani relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya (self-hate) karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti diri sendiri seperti bunuh diri dan sebagainya.
Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kekerasan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya sistem syaraf, dan sebagainya.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik dapat menyebabkan kerusakan emosional anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hofeller dan La Rossa dalam Fentini Nugroho menjelaskan tentang efek kekerasan terhadap psikologis anak. Diungkapkan bahwa anak-anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangun di tengah malam menjerit ketakutan. Mereka juga ada yang menderita psikosomatik, misalnya asma. Beberapa anak ada pula yang demikian sedih, sehingga sering muntah setelah makan dan berat badannya turun drastis. Ketika mereka semakin besar, anak laki-laki cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain; sementara anak perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasinya sendiri.
Namun, dampak yang paling menyedihkan adalah bahwa anak perempuan kemudian merasa semua anak pria itu menyakiti (dan menyebabkan beberapa di antaranya menjadi pria), sedangkan anak laki-laki kemudian percaya bahwa laki-laki mempunyai hak untuk memukul istrinya.
Anak-anak memang selalu peka. Sering orang tua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia, maka wajah anak begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Sebagai wadah penyuluhan yang baik, di mana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai-nilai dan cara bertingkah laku, perilaku orang tua sering mempengaruhi perilaku anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian melakukannya dan bahkan terbawa sampai ia dewasa. Karena kekerasan begitu sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang “normal” dan sudah seharusnya.
B. Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.
Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lebih lanjut, yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung bersama.
Menurut Arif Gosita yang dimaksud perlindungan anak adalah :
“Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi”
Lebih lanjut menurut Arif Gosita apabila kita ingin mengetahui ada terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam pasal 13 dijelaskan bahwa menjadi hak bagi setiap anak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan yang diskriminasi, eksploitasi (ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlindungan yang diberikan pada anak pada dasarnya bertujuan menjamin hak-hak anak dalam rumah tangga.
Pasal 20 menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan anak merupakan kewajiban universal. Artinya menjadi kewajiban bagi setiap orang dalam mengupayakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak adalah usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapaun perlindungan anak merupakan wujud adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Adapun bentuk perlindungan yang dilakukan oleh Negara dan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana. Lain halnya dengan tanggung jawab dan kewajiban masyarakat yang diberikan dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak yaitu dengan peran serta dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah bersifat umum. Artinya bahwa kewajiban yang dipikul oleh pemerintah hanya terbatas pada penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah diperluas kembali melalui Pasal 59 yang memuat secara rinci mengenai perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Perlindungan khusus yang dimaksud adalah :
1. Anak dalam situasi darurat;
2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
3. Anak dari kelompok minoritas an terisolasi;
4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5. Anak yang diperdagangkan;
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza);
7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental;
9. Anak yang menyandang cacat; dan
10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 juga sudah dibentuk suatu komisi dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak beserta tugas-tugasnya atau sesuai dalam Pasal 74 yang berbunyi : “Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat Independen”. Artinya bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang terlepas dari intervensi maupun tekanan luar dalam menjalankan tugasnya, sehingga tanggung jawab yang diberikan hanya kepada Presiden sebagai lembaga yang mengesahkan keberadaanya.
Adapun tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia menurut pasal 76:
a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 juga terdapat sanksi-sanksi atau ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan terhadap anak sebagaimana tercantum dalam pasal 77 : yaitu, diskriminasi dan penelantaran. Tindakan tersebut merupakan bagian dari kejahatan terhadap anak yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Diskriminasi dan penelantaran menyebabkan hak-hak anak baik berupa materiil maupun moril terganggu, sehingga perkembangannya pun juga ikut terhambat. Hak materiil disini adalah dapat berupa hak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti ; kesehatan, pendidikan, bermain, dll. Sedangkan hak moril adalah yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan anak. Kerugian yang dialami anak sudah sepatutnya dilindungi dan dijaga. Oleh karena itu kewajiban yang paling besar ada pada pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan.
Sedangkan bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 78.
Anak dalam situasi darurat yang tercantum dalam pasal 60 terdiri atas : anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
Dalam pasal 79 tentang pengangkatan anak, setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pengangkatan anak sebagaimana tercantum dalam pasal 39 adalah hanya dapat dilakukan atau harus semata-mata demi kepentingan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya serta pengangkatan anak oleh warga negara asing adalah sebagai upaya terakhir.
Pasal 80 mengatur mengenai bentuk kekejaman, kekerasan atau mengancam dengan kekerasan terhadap anak diancam pidana penjara dan pidana denda. Penjara terdiri dari 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan hingga 10 (sepuluh) tahun jika mengakibatkan kematian pada anak. Sedangkan denda Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) hingga Rp 200.000.000.- (dua retus juta rupiah). Pidana bertambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan tersebut adalah orangtua kandungnya. Pasal di atas menyiratkan bahwa kekerasan dapat pula dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan pelakunya adalah orang tua kandungnya sendiri. Apabila orang tua kandung telah salah dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan terhadap anak, maka sudah sepatutnya hukuman yang dijatuhkan ditambah. Hal tersebut dikarenakan orang tua kandung merupakan tumpuan terakhir kehidupan anak.
Dalam hal anak yang mengalami kekerasan seksual maupun ancaman kekerasan seksual serta memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana tercantum dalam pasal 81.
Pasal 82 juga diatur ketentuan yang sama seperti halnya pasal 81 namun kejahatan yang dilakukan berbeda. Di dalam pasal 82 kejahatan yang diatur adalah kajahatan atau perbuatan cabul.
Ketentuan pidana di atas merupakan lex specialis dari Pasal 290 ke-3 KUHP yang mengatur kejahatan kesusilaan yang menyatakan bahwa perbuatan jahat yang diawali dengan bujukan pada korban yang belum berumur 15 (lima belas) tahun diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Kejahatan tersebut dapat berupa paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan baik dengannya atau dengan orang lain. Cara yang dilakukan yaitu baik di awali dengan kebohongan atau bujukan untuk melakukan perbuatan tersebut.
Kejahatan dalam bentuk perdagangan anak atau biasa dikenal dengan sebutan trafficking. Trafficking merupakan eksploitasi anak untuk dijadikan komoditi dalam lalu lintas perdagangan. Sehingga kebebasan anak terbelenggu, hak dan kewajibannya dirampas untuk tidak dapat menikmati kebebasannya. Trafficking merupakan perbuatan jahat yang sangat keji yang dapat merusak harapan dan masa depan anak. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 83.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Trafficking, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dapat lebih spesifik, fokus dan dalam menjatuhkan sebuah sanksi atau hukuman bisa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan karena undang-undang ini memang khusus mengatur masalah Trafficking.
Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam hal setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jarimgan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Sedangkan bagi setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana penjara 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Dan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 84 dan pasal 85.
Dalam pasal 84 dan pasal 85 haruslah ada pihak-pihak yang melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain, pengambilan organ dan jaringan tubuh anak, jual beli organ, dan penelitian kesehatan yang menggunakan anak tanpa memperhatikan kesehatan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam pasal 47.
Dalam hal berkeyakinan atau memeluk agama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tesebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 86.
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Setiap anak juga mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Yang menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya adalah Negara, pemerintah, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak tersebut meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Hal ini tercantum dalam pasal 42 dan pasal 43.
Pasal 87 menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Untuk kepentingan militer setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa sebagaimana diatur dalam pasal 63. Sedangkan perlindungan yang tercantum dalam pasal 15 meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis. Langsung dan tidak langsung yang dimaksud adalah yang melibatkan anak ke dalam suatu masalah atau persoalan yang seharusnya belum dilakukan oleh anak.
Dalam pasal 88 menyatakan setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Perlakuan eksploitasi misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.
Dalam Pasal 89 tentang narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya, setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan bagi setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 89.
Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.
Namun dalam Undang-undang narkotika dan Undang-undang Psikotropika tersebut tidak tercantum atau mengatur adanya ketentuan tentang anak yang terlibat masalah narkotika dan psikotropika atau hanya mengatur secara umum. Untuk itu Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sangat dibutuhkan atau diperlukan dalam menentukan hukuman pidana bagi setiap orang yang melibatkan anak dalam masalah narkotika dan zat adiktif lainnya atau sebagaimana telah diatur dalam pasal 89 Undang-Undang No.23 Tahun 2002.
Sebenarnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya sangat bermanfaat dan diperlukan untuk ilmu pengetahuan, pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya anak-anak atau generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk itu Negara, pemerintah, keluarga dan para orang tua harus lebih baik dalam rangka peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan membarantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya demi melindungi anak-anak atau generasi muda di masa mendatang.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
Dan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 90 Undang-undang No.23 Tahun 2002.
Sanksi pidana merupakan kewajiban dan kewenangan Negara dalam mengatur tata kehidupan masyarakat yang adil, merata dan seimbang. Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo bahwa tujuan pidana adalah :
“ Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nesatapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh Negara atau lembaga Negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pmbinaan (treatment).” Perlu diketahui bahwa Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi dengan bentuk pidana dan denda merupakan bentuk postif yaitu dengan penetapan premi (ganjaran) kepada pelaku kejahatan.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terdiri dari 13 Pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan delik terhadap anak. Ancaman pidana yang diatur oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002 terdiri dari pidana penjara dan pidana denda. Ancaman pidana penjara dan pidana denda pada Undang-undang No 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa delik yang ada merupakan delik kejahatan yang diatur pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada ketentuan pidana Undang-undang No 23 tahun 2002 mengatur pidana penjara paling rendah 3 (tiga) tahun (Pasal 80 ayat 1) dan paling tinggi 20 adalah pidana mati atau penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 89). Ketentuan Pidana Undang-undang No 23 Tahun 2002 mengatur bahwa minimum umum selama 3 (tiga) tahun dan maksimum umum dengan pidana mati penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun. Menurut Pasal 12 KUHP ayat (1) menjelaskan bahwa hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara. Sedang ayat (2) menjelaskan bahwa penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. Ketentuan pidana denda yang diatur undang-undang No 23 Tahun 2002 yaitu :
Pasal 80 ayat (1) :
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 89 ayat (1) :
Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal di atas menjelaskan bahwa pidana denda paling sedikit/rendah yaitu Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) dan paling tinggi adalah Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal 80 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) jika dikaitkan dengan aturan mengenai pidana denda KUHP yaitu pada Pasal 30 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa bahyaknya denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
Menurut Soesilo pengertian denda adalah :
“Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada kekayaan.”
Pengertian sekurang-kurangnya dua puluh lima sen pada Pasal 30 ayat (1) KUHP menerangkan bahwa minimum umum pidana denda adalah dua puluh lima sen. Pasal 30 ayat (1) tidak menjelaskan batas akhir/limit dari pidana denda. Jika dikaitkan dengan Pasal 89 ayat (1) undang-undang 23 Tahun 2002 yang menyebutkan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) adalah sah saja, bahkan apabila Undang-undang menentukan melebihi dari ketentuan pasal 89 ayat (1) boleh saja. Hal ini dikarenakan tidak adanya batas/limit dari pidana denda.
C. Pandangan Hukum Islam Mengenai Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga.
Islam telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak melalui Rasul yang mulia, Muhammad SAW. Beliau mengutamakan kelemah lembutan.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
“Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul”. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”
Dalam riwayat lain dikemukakan:
Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”
Dari hadis di atas memberi pelajaran bagi orangtua agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.
Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”
Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.
Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.
Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Kebolehan memukul bukan berarti menjadi keharusan atau kewajiban untuk memukul. Maksudnya adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).
Menelantarkan dan mensia-siakan anak sangat dilarang agama, Allah swt berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 140).
Artinya : Sesungguhnya Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
Anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Rasulullah SAW. adalah orang yang sangat perhatian pada anak-anak dan cucu-cucunya dengan memberikan curahan kasih sayang kepada mereka. Pernah suatu saat beliau mencium cucunya, Hasan bin Ali RA. Waktu itu ada Arab Baduwi bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Dia menegur, “Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh orang anak, tetapi sama sekali tidak seorang pun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang orang itu dengan pandangan tidak setuju, lalu beliau berkata: “Aku tidak dapat menjamin kamu bila Allah mencabut rasa belas-kasihan dari hati kamu. Hai Habis, siapa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan, dia tidak akan mendapat rahmat.
Oleh karena itu, ada beberapa kewajiban kita terhadap anak. Pertama, memberikan kasih sayang dan perlindungan. Kasih sayang bukan berarti memberikan kecukupan materi tetapi lebih penting dari itu adalah mendengarkan suara dan tuntutan mereka serta mendampinginya dalam proses tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa.
Kedua, memberikan keteladanan dan pendidikan yang baik. Sebagian orang meyakini bahwa pendidikan untuk anak hendaknya dimulai sejak berada di dalam kandungan. Seorang ibu yang hamil dianjurkan untuk banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an. Maksudnya adalah orang tua harus senantiasa memberikan keteladanan tentang perilaku yang baik dan pesan-pesan moral. Jadi cara menyampaikan pesan kebaikan kepada anak adalah bukan sekadar dengan menyuruh, tapi lebih baik dengan contoh perbuatan.
Dalam hadits disebutkan, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Rafi’: “Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah mengajarkannya menulis, berenang dan memanah, dan janganlah anak itu diberi selain rizki yang halal.” Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: “Dekatlah kamu pada anak-anak dan perbaikilah budi pekerti mereka.”
Sepintas lalu, fokus hadits tersebut adalah hanya orang tua kandung. Padahal lebih luas dari itu. Orang tua di sini adalah seluruh komponen masyarakat. Khususnya pemerintah atau negara, adalah orang tua yang harus memberikan keteladanan yang baik, memberikan perlindungan, dan menjamin bagi pola kehidupan anak yang nyaman, membahagiakan dan mencerdaskan. Ini berarti, negara bertanggung jawab penuh menjamin hak-hak dasar anak, seperti tempat tinggal yang baik, akses pendidikan dan kesehatan murah, serta perlindungan hukum.
Setiap tindakan dan kebijakan yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan anak merupakan pelanggaran terhadap ajaran agama. Salah satu dari al-dharuriyyat al-khams (lima hak dasar manusia) adalah hifdz an-nasl (perlindungan generasi). Di sini, seluruh komponen masyarakat berhak menuntut negara agar memberikan kebijakan yang memberikan kenyamanan bagi tumbuhnya generasi yang bahagia, cerdas, sehat, dan mumpuni. Yaitu menuntut jaminan perlindungan hukum, pendidikan yang murah, sarana kesehatan yang berpihak pada rakyat banyak, dan lingkungan sosial yang kondusif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya, umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek bagi anak-anak yang mengalaminya atau kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di masa yang akan datang.
2. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami kekerasan atau perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Bagi setiap orang yang melanggar peraturan harus dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan perbuatannya karena semua kepentingan haruslah semata-mata demi kebaikan anak.
3. Pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak adalah tergantung dari kekerasan yang terjadi. Karena Islam juga “membolehkan” melakukan tindakan fisik tapi dengan tujuan disiplin bukan kekerasan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan karena anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Menelantarkan dan mensia-siakan anak juga sangat dilarang oleh agama Islam.
B. Saran
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka dan bisa sangat mengkhawatirkan kehidupannya di masa mendatang. Untuk itu kita harus lebih mengoptimalkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang yang terkait lainnya, dimana dalam pelaksanaannya harus lebih ditingkatkan dan terus diawasi agar tercapai atau sesuai dengan yang diharapkan bangsa Indonesia. Hukum Islam juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan atau dalam menindaklanjuti masalah kekerasan terhadap anak. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tapi bukan berarti semua tindakan bisa dilakukan mengatasnamakan agama Islam karena Negara kita bukan Negara Islam tetapi Negara hukum yang mempunyai peraturan-peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
An Nawawi. Irsyadul Aulad. Kairo : Dar el Fikr
Abdul hadi asy-Syal, al-Islam wa bina’ al-Mujtama’ al-fadhil.
Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Jakarta : An Najm. 2000
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Bandung : Nuansa, 2006
Ibnu Majah, Ahmad dan al-Bukhari. Al-Adab al-Mufrad
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta : Chandra Pratama. 1996
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. 1989
Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana. Dasar Aturan Umum. Jakarta : Ghalia. 1988
Bambang Poernomo. Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi Jakarta : Ghalia. 1990
Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) di Rumah Sakit, Jakarta : 2005
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Kerja sama APTIK dengan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum Bandung : Mandar Maju, 1995.
Hofeller dan La Rossa . Kekerasan Terhadap Anak dalam Kehidupan Sosial. Jakarta : Rieka Cipta. 1990
Irwanto, Fentini Nugroho dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia : Internasional Labour Organisation (ILO), Jakarta : 2001
Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1999
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia. 2000
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Press, 1986.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1988.
Suharto. Pembangunan, Kebijakasanaan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung : Lembaga Pembangunan Sekolah. 1997
R. Soesilo. Komentar KUHP. Jakarta : Politea. 1978
Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983
Rusmil. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak. Makalah disampaikan pada seminar sehari penanggulangan korban kekerasan pada wanita dan anak. Januari 2006
Perundang-undangan
Undang – undang Dasar 1945 amandemen 4
Kitab Undang-undang Hukum Pidan (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang N0.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Undang-undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Suharto, Edi. Kebijakan dan Program Perlindungan Anak Berbasis Komunitas Lokal, makalah yang disampaikan pada “Sosialisasi UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam konteks Pembangunan Pro-Anak”, Tegal : 2004
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1990
Situs
M. Khoidin, Hukum Perlindungan Anak Era Industri 2, http://www.bisnis.com. 2007
Taofik Andi Rachman, Stop Kekerasan Terhadap Anak, http://www.GEMA.com. 2007
Forum Kebebasan Anak. www.tabalong.go.id. 2006
Anak Indonesia. www.wordpress.com. 2005
Pendidikan Anak Usia Dini. http://heilraff.blogspot.com. 2004
Kepribadian Anak. http://www.kuis-bola.blogspot.com. 2005
Anak dan Sosial. http://www.dwp.or.id. 2007
M Lutfi. My Blog_ Stop, Kekerasan Pada Anak.html. 2006
YKAI. Fenomena Kekerasan Pada Anak.html 2007
Richard J Gelles. Child Abuse. Encyclopedia Article Encarta. http://Encarta.msn.com/encyclopedia. Juli 2004
*) Indra Saputra, SH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan penuh dengan keindahan. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan penuh kesempurnaan dibanding makhlukNya yang lain. Kesempurnaan tersebut telah menjadi hal yang umum di kehidupan sosial manusia dalam menjalankan aktifitasnya. Kesempurnaan manusia menjadi lebih baik manakala manusia tersebut hidup dengan membina rumah tangga dan disertai dengan adanya anak-anak yang menghiasi sebuah keluarga.
Anak merupakan kebahagiaan tersendiri dalam kehidupan manusia yang sempurna.
Anak merupakan penyejuk jiwa dan pelipur lara dikala orang tua jenuh. Adakalanya anak menjadi idaman dalam setiap keluarga yang dinanti-nanti kehadirannya. Oleh karena itu Islam sangat menghormati kedudukan anak, bahkan dikatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci.
Setiap kali memperingati Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli, setiap bayangan akan tertuju pada keceriaan anak Indonesia yang tengah bebas bermain di alam terbuka, atau mendapat hiburan di obyek wisata yang indah. Pada tanggal tersebut, seakan-akan anak-anak Indonesia telah menemukan dunia yang ceria.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar kelak mereka dapat memikul tanggung jawab, maka mereka berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Mereka juga berhak mendapatkan hak-haknya, serta dilindungi dan disejahterakan. Karenanya segala bentuk kekerasan pada anak harus dicegah dan diatasi.
Jika kita mendengar dan memperhatikan secara seksama, sebenarnya kekerasan terhadap anak sangatlah mengerikan. Mungkin karena itu, kita lebih sering menutup mata. Namun sejauh kita menghindar, sedekat itu pula kenyataan yang terus terjadi pada anak-anak di Indonesia.
Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks (beraneka ragam). Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitanya malah diwarnai oleh data kelam dan menyedihkan, yaitu anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.
Kekerasan terhadap anak banyak terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya, perlakuan yang salah terhadap anak (child abuse) bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural.
Kekerasan struktural merupakan kekerasan sistematik dan tidak tampak, namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian, dan penderitaan luar biasa, luas, dan berjangka panjang terhadap anak. Kekerasan struktural, yang sering disebut sebagai system abuse, dapat berupa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), control represif, praktik ekonomi monopolistik dan eksploitatif yang merugikan negara, dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi sosial ekonomi yang melahirkan dan menyuburkan akar kemiskinan dan kekerasan sosial terhadap anak. Salah satu contoh potret kekerasan struktural adalah perdagangan anak (child trafficking).
Kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja dan dalam situasi maupun kondisi yang tidak terduga sebelumnya. Orang terdekat seperti orang tua ataupun saudara bisa menjadi pelaku utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan hukum dan praktik budaya, bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan terhadap anak. Misalnya saja hukuman badan (corporal punishment) pada masyarakat tertentu adalah bentuk kekerasan terhadap anak seringkali lepas dari jeratan hukum dan secara budaya diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak. Anak yang pernah menerima kekerasan, kemungkinan akan melakukan hal yang sama kepada anaknya kelak. Begitupun yang sering melakukan perlakuan salah atau kekerasan terhadap anaknya, cenderung melakukan hal serupa pula pada istrinya.
Sebagai generasi penerus bangsa, anak selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindak kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dan dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Hal ini tentu perlu dilakukan, supaya di kemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (the lost generation).
Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Pasal 5 undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu:
1. Kekerasan fisik (physical abuse)
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. kekerasan fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya. Contohnya dapat berupa pemukulan, penyiksaan, dan penganiayaan dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu.
2. Kekerasan psikis (psychological abuse)
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh kekerasan psikis yaitu penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor.
3. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak dengan orang yang dewasa (pemaksaan, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan seksual juga merupakan setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Contohnya, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik, tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya.
Kebijakan dan program perlindungan anak yang bisa berdimensi global, nasional maupun lokal, dapat berperan sebagai piranti kelembagaan dalam melindungi anak dari tindakan kekerasan. Kebijakan adalah desain besar (grand design) yang ditujukan untuk merespon isu atau masalah tertentu secara sistematis, melembaga, dan berkelanjutan. Kebijakan berfungsi sebagai pedoman yang akan diimplementasikan oleh program aksi. Program aksi merupakan beragam tindakan (course of action) yang lebih aplikatif, berjangka waktu dan berwilayah geografis jelas.
Indonesia telah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi anak. Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan politik dan legislasi (kewajiban negara). Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua dan kepedulian masyarakat. Tanpa partisipasi dari masyarakat, pendekatan legal formal saja ternyata tidak cukup efektif melindungi anak.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Khusus Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”.
B. Identifikasi Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat permasalahan yang timbul dari kekerasan terhadap anak cukup banyak, maka peneliti membatasi permasalahan dalam tulisan ini hanya menyangkut pada kekerasan terhadap anak.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak di dalam keluarga ?
b. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002?
c. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002.
3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memperluas wawasan pengetahuan peneliti dalam ilmu hukum, khususnya hukum mengenai perlindungan anak.
2. Untuk memperluas informasi mengenai perlindungan anak yang dijamin oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
3. Merupakan suatu nilai tambah dalam bidang ilmu pengetahuan yang berguna di lingkungan Universitas khususnya dan di Masyarakat pada umumnya.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
a. Pengertian Perlindungan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Adalah tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi
b. Pengertian Anak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Adalah manusia yang masih kecil atau yang lebih kecil daripada yang lain
c. Pengertian Hukum Menurut Emmanuel Kant Kant :
Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi di masa terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum tentang kemerdekaan
d. Pengertian Hukum Menurut Oxford English Dictionary :
Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasan di mana suatu Negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya
e. Pengertian Korban Menurut Arif Gosita :
Korban adalah menjadi korban, menderita kerugian (mental, fisik, sosial), oleh sebab tindakan yang aktif atau pasif orang lain atau kelompok (swasta atau Pemerintah), baik secara langsung maupun tidak langsung
f. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Richard. J. Gelles :
Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak
g. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Barker :
Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak
h. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) :
Kekerasan terhadap anak adalah perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya jauh lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnnya berada di bawah tanggung jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat.
2. Kerangka Konseptual
a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 :
Pasal 27 Ayat (2) : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 (b) Ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Menurut Pasal 4 Undang –Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak :
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Pasal 52 :
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
d. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
“Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a). kekerasan fisik;
b). kekerasan psikis;
c). kekerasan seksual; atau
d). penelantaran rumah tangga.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif , artinya penelitian ini merujuk pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan hakim, serta doktrin-doktrin yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitis untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek penelitian.
Sedangkan tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan topik yang dibahas, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, jurnal, koran, majalah, dan internet serta melalui studi lapangan.
G. Lokasi dan Lama Penelitian
Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data-data dalam penelitian agar menjadi lengkap, maka data-data dikumpulkan dari perpustakaan, lembaga-lembaga yang terkait dengan objek penelitian yang berlokasi di Jakarta. Waktu yang di perlukan untuk penelitian serta penyusunan penelitian ini memerlukan waktu selama + 6 bulan.
HASIL PENELITIAN
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga
Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Suharto bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti :
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.
3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (Unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatkan faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme control sosial yang stabil.
Adapun penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu:
1. Pola asuh orang tua yang salah
Ardanti Ratna Widyastuti pada Psikolog perkembangan mengatakan :
“banyak orang tua yang berlaku kasar memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Sesungguhnya yang benar adalah bahwa pada saat itu anak sedang diberikan pelajaran kekerasan oleh orangtuanya. Karena esensinya, anak-anak adalah peniru ulung, anak-anak akan berperilaku sama jika mereka menghadapi situasi serupa. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi “budaya kekerasan”. Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20-30 tahun kedepan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang kita saksikan saat ini.”
Agresi psikologis itu, katanya, bisa membuat anak menjadi lebih sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Bisa jadi anak jadi kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak, rantai kekerasan itu akan terus berlanjut.
Child abuse jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya.
Anak bukan milik orang tua seutuhnya, anak hanyalah titipan Sang Pencipta. Maka hargailah anak dengan keterbatasannya sebagai individu yang utuh, bukan dianggap sebagai orang dewasa yang kecil.
2. Tekanan ekonomi
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari tahun ke tahun, melonjaknya Tarif Dasar Listrik (TDL), harga barang-barang keburutuhan yang tak terjangkau, biaya pendidikan mahal, akses pelayanan kesehatan yang minim, merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya, ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak. Bahkan yang lebih parah, jika kemiskinan ekonomi disertai dengan kemiskinan akidah, hal-hal keji yang lain dapat dengan mudah mereka lakukan. Misalnya dengan membunuh sang anak dengan tujuan menjual organ tubuhnya, menjualnya untuk dijadikan pekerja seks dan lain-lain.
3. Belum efektifnya perlindungan hukum bagi anak
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku selama enam tahun, tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyusut atau bahkan semakin terus terjadi (merajalela) terutama kekerasan seksual yang terus menghiasi media massa. Entah karena ketidaktahuan atau karena keengganan mereka, penegak hukum masih saja belum mau menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan lebih memilih Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.
1. Faktor orang tua/keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak di antaranya :
a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak :
1) Kepatuhan anak kepada orang tua.
2) Hubungan asimetris.
b. Dibesarkan dengan penganiayaan.
c. Gangguan mental.
d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.
e. Pecandu minuman keras dan obat.
2. Faktor lingkungan sosial/komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak di antaranya :
a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.
b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah.
c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
d. Status wanita yang dipandang rendah.
e. Sistem keluarga patriarkal.
f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.
3. Faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.
b. Perilaku menyimpang pada anak.
Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor : personal, sosial dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu:
1. Pewarisan kekerasan antar generasi.
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan pada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
2. Stres sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup : pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than-average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan (proverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindakan kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subyektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.
Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orang tua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti : kelemahan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orang tua dan meningkatkan resiko tindakan kekerasan.
3. Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orang tua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka mengatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menjadikan para orang tua ini kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.
4. Struktur keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang tanpa masalah.
Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek dimasa yang akan datang bagi anak-anak yang mengalaminya. Rusmil mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi risiko sebagai berikut:
1. Usia yang lebih pendek.
2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk.
3. Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah).
4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak.
5. Menjadi gelandangan.
Sementara itu, menurut Suharto dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara lain :
1. Cacat tubuh permanen.
2. Kegagalan belajar.
3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian.
4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain.
5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain.
6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.
7. Menjadi penganiaya ketika dewasa.
8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol.
9. Kematian.
Sedangkan Richard J. Gelles menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang luas (far-reaching). Luka-luka fisik, seperti : memar-memar (bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian (death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti : rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti : depresi (depression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety), atau gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya risiko bunuh diri (suicide).
Efek tindakan kekerasan pada anak, menurut penjelasan Moore dan Fentini Nugroho yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik sangat besar. Hal ini terungkapnya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically low self-esteem); ada pula yang sulit menjalani relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya (self-hate) karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti diri sendiri seperti bunuh diri dan sebagainya.
Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kekerasan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya sistem syaraf, dan sebagainya.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik dapat menyebabkan kerusakan emosional anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hofeller dan La Rossa dalam Fentini Nugroho menjelaskan tentang efek kekerasan terhadap psikologis anak. Diungkapkan bahwa anak-anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangun di tengah malam menjerit ketakutan. Mereka juga ada yang menderita psikosomatik, misalnya asma. Beberapa anak ada pula yang demikian sedih, sehingga sering muntah setelah makan dan berat badannya turun drastis. Ketika mereka semakin besar, anak laki-laki cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain; sementara anak perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasinya sendiri.
Namun, dampak yang paling menyedihkan adalah bahwa anak perempuan kemudian merasa semua anak pria itu menyakiti (dan menyebabkan beberapa di antaranya menjadi pria), sedangkan anak laki-laki kemudian percaya bahwa laki-laki mempunyai hak untuk memukul istrinya.
Anak-anak memang selalu peka. Sering orang tua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia, maka wajah anak begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Sebagai wadah penyuluhan yang baik, di mana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai-nilai dan cara bertingkah laku, perilaku orang tua sering mempengaruhi perilaku anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian melakukannya dan bahkan terbawa sampai ia dewasa. Karena kekerasan begitu sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang “normal” dan sudah seharusnya.
B. Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.
Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lebih lanjut, yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung bersama.
Menurut Arif Gosita yang dimaksud perlindungan anak adalah :
“Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi”
Lebih lanjut menurut Arif Gosita apabila kita ingin mengetahui ada terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam pasal 13 dijelaskan bahwa menjadi hak bagi setiap anak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan yang diskriminasi, eksploitasi (ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlindungan yang diberikan pada anak pada dasarnya bertujuan menjamin hak-hak anak dalam rumah tangga.
Pasal 20 menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan anak merupakan kewajiban universal. Artinya menjadi kewajiban bagi setiap orang dalam mengupayakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak adalah usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapaun perlindungan anak merupakan wujud adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Adapun bentuk perlindungan yang dilakukan oleh Negara dan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana. Lain halnya dengan tanggung jawab dan kewajiban masyarakat yang diberikan dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak yaitu dengan peran serta dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah bersifat umum. Artinya bahwa kewajiban yang dipikul oleh pemerintah hanya terbatas pada penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah diperluas kembali melalui Pasal 59 yang memuat secara rinci mengenai perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Perlindungan khusus yang dimaksud adalah :
1. Anak dalam situasi darurat;
2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
3. Anak dari kelompok minoritas an terisolasi;
4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5. Anak yang diperdagangkan;
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza);
7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental;
9. Anak yang menyandang cacat; dan
10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 juga sudah dibentuk suatu komisi dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak beserta tugas-tugasnya atau sesuai dalam Pasal 74 yang berbunyi : “Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat Independen”. Artinya bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang terlepas dari intervensi maupun tekanan luar dalam menjalankan tugasnya, sehingga tanggung jawab yang diberikan hanya kepada Presiden sebagai lembaga yang mengesahkan keberadaanya.
Adapun tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia menurut pasal 76:
a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 juga terdapat sanksi-sanksi atau ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan terhadap anak sebagaimana tercantum dalam pasal 77 : yaitu, diskriminasi dan penelantaran. Tindakan tersebut merupakan bagian dari kejahatan terhadap anak yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Diskriminasi dan penelantaran menyebabkan hak-hak anak baik berupa materiil maupun moril terganggu, sehingga perkembangannya pun juga ikut terhambat. Hak materiil disini adalah dapat berupa hak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti ; kesehatan, pendidikan, bermain, dll. Sedangkan hak moril adalah yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan anak. Kerugian yang dialami anak sudah sepatutnya dilindungi dan dijaga. Oleh karena itu kewajiban yang paling besar ada pada pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan.
Sedangkan bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 78.
Anak dalam situasi darurat yang tercantum dalam pasal 60 terdiri atas : anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
Dalam pasal 79 tentang pengangkatan anak, setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pengangkatan anak sebagaimana tercantum dalam pasal 39 adalah hanya dapat dilakukan atau harus semata-mata demi kepentingan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya serta pengangkatan anak oleh warga negara asing adalah sebagai upaya terakhir.
Pasal 80 mengatur mengenai bentuk kekejaman, kekerasan atau mengancam dengan kekerasan terhadap anak diancam pidana penjara dan pidana denda. Penjara terdiri dari 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan hingga 10 (sepuluh) tahun jika mengakibatkan kematian pada anak. Sedangkan denda Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) hingga Rp 200.000.000.- (dua retus juta rupiah). Pidana bertambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan tersebut adalah orangtua kandungnya. Pasal di atas menyiratkan bahwa kekerasan dapat pula dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan pelakunya adalah orang tua kandungnya sendiri. Apabila orang tua kandung telah salah dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan terhadap anak, maka sudah sepatutnya hukuman yang dijatuhkan ditambah. Hal tersebut dikarenakan orang tua kandung merupakan tumpuan terakhir kehidupan anak.
Dalam hal anak yang mengalami kekerasan seksual maupun ancaman kekerasan seksual serta memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana tercantum dalam pasal 81.
Pasal 82 juga diatur ketentuan yang sama seperti halnya pasal 81 namun kejahatan yang dilakukan berbeda. Di dalam pasal 82 kejahatan yang diatur adalah kajahatan atau perbuatan cabul.
Ketentuan pidana di atas merupakan lex specialis dari Pasal 290 ke-3 KUHP yang mengatur kejahatan kesusilaan yang menyatakan bahwa perbuatan jahat yang diawali dengan bujukan pada korban yang belum berumur 15 (lima belas) tahun diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Kejahatan tersebut dapat berupa paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan baik dengannya atau dengan orang lain. Cara yang dilakukan yaitu baik di awali dengan kebohongan atau bujukan untuk melakukan perbuatan tersebut.
Kejahatan dalam bentuk perdagangan anak atau biasa dikenal dengan sebutan trafficking. Trafficking merupakan eksploitasi anak untuk dijadikan komoditi dalam lalu lintas perdagangan. Sehingga kebebasan anak terbelenggu, hak dan kewajibannya dirampas untuk tidak dapat menikmati kebebasannya. Trafficking merupakan perbuatan jahat yang sangat keji yang dapat merusak harapan dan masa depan anak. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 83.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Trafficking, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dapat lebih spesifik, fokus dan dalam menjatuhkan sebuah sanksi atau hukuman bisa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan karena undang-undang ini memang khusus mengatur masalah Trafficking.
Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam hal setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jarimgan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Sedangkan bagi setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana penjara 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Dan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 84 dan pasal 85.
Dalam pasal 84 dan pasal 85 haruslah ada pihak-pihak yang melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain, pengambilan organ dan jaringan tubuh anak, jual beli organ, dan penelitian kesehatan yang menggunakan anak tanpa memperhatikan kesehatan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam pasal 47.
Dalam hal berkeyakinan atau memeluk agama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tesebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 86.
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Setiap anak juga mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Yang menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya adalah Negara, pemerintah, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak tersebut meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Hal ini tercantum dalam pasal 42 dan pasal 43.
Pasal 87 menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Untuk kepentingan militer setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa sebagaimana diatur dalam pasal 63. Sedangkan perlindungan yang tercantum dalam pasal 15 meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis. Langsung dan tidak langsung yang dimaksud adalah yang melibatkan anak ke dalam suatu masalah atau persoalan yang seharusnya belum dilakukan oleh anak.
Dalam pasal 88 menyatakan setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Perlakuan eksploitasi misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.
Dalam Pasal 89 tentang narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya, setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan bagi setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 89.
Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.
Namun dalam Undang-undang narkotika dan Undang-undang Psikotropika tersebut tidak tercantum atau mengatur adanya ketentuan tentang anak yang terlibat masalah narkotika dan psikotropika atau hanya mengatur secara umum. Untuk itu Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sangat dibutuhkan atau diperlukan dalam menentukan hukuman pidana bagi setiap orang yang melibatkan anak dalam masalah narkotika dan zat adiktif lainnya atau sebagaimana telah diatur dalam pasal 89 Undang-Undang No.23 Tahun 2002.
Sebenarnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya sangat bermanfaat dan diperlukan untuk ilmu pengetahuan, pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya anak-anak atau generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk itu Negara, pemerintah, keluarga dan para orang tua harus lebih baik dalam rangka peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan membarantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya demi melindungi anak-anak atau generasi muda di masa mendatang.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
Dan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 90 Undang-undang No.23 Tahun 2002.
Sanksi pidana merupakan kewajiban dan kewenangan Negara dalam mengatur tata kehidupan masyarakat yang adil, merata dan seimbang. Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo bahwa tujuan pidana adalah :
“ Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nesatapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh Negara atau lembaga Negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pmbinaan (treatment).” Perlu diketahui bahwa Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi dengan bentuk pidana dan denda merupakan bentuk postif yaitu dengan penetapan premi (ganjaran) kepada pelaku kejahatan.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terdiri dari 13 Pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan delik terhadap anak. Ancaman pidana yang diatur oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002 terdiri dari pidana penjara dan pidana denda. Ancaman pidana penjara dan pidana denda pada Undang-undang No 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa delik yang ada merupakan delik kejahatan yang diatur pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada ketentuan pidana Undang-undang No 23 tahun 2002 mengatur pidana penjara paling rendah 3 (tiga) tahun (Pasal 80 ayat 1) dan paling tinggi 20 adalah pidana mati atau penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 89). Ketentuan Pidana Undang-undang No 23 Tahun 2002 mengatur bahwa minimum umum selama 3 (tiga) tahun dan maksimum umum dengan pidana mati penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun. Menurut Pasal 12 KUHP ayat (1) menjelaskan bahwa hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara. Sedang ayat (2) menjelaskan bahwa penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. Ketentuan pidana denda yang diatur undang-undang No 23 Tahun 2002 yaitu :
Pasal 80 ayat (1) :
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 89 ayat (1) :
Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal di atas menjelaskan bahwa pidana denda paling sedikit/rendah yaitu Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) dan paling tinggi adalah Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal 80 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) jika dikaitkan dengan aturan mengenai pidana denda KUHP yaitu pada Pasal 30 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa bahyaknya denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
Menurut Soesilo pengertian denda adalah :
“Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada kekayaan.”
Pengertian sekurang-kurangnya dua puluh lima sen pada Pasal 30 ayat (1) KUHP menerangkan bahwa minimum umum pidana denda adalah dua puluh lima sen. Pasal 30 ayat (1) tidak menjelaskan batas akhir/limit dari pidana denda. Jika dikaitkan dengan Pasal 89 ayat (1) undang-undang 23 Tahun 2002 yang menyebutkan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) adalah sah saja, bahkan apabila Undang-undang menentukan melebihi dari ketentuan pasal 89 ayat (1) boleh saja. Hal ini dikarenakan tidak adanya batas/limit dari pidana denda.
C. Pandangan Hukum Islam Mengenai Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga.
Islam telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak melalui Rasul yang mulia, Muhammad SAW. Beliau mengutamakan kelemah lembutan.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
“Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul”. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”
Dalam riwayat lain dikemukakan:
Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”
Dari hadis di atas memberi pelajaran bagi orangtua agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.
Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”
Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.
Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.
Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Kebolehan memukul bukan berarti menjadi keharusan atau kewajiban untuk memukul. Maksudnya adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).
Menelantarkan dan mensia-siakan anak sangat dilarang agama, Allah swt berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 140).
Artinya : Sesungguhnya Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
Anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Rasulullah SAW. adalah orang yang sangat perhatian pada anak-anak dan cucu-cucunya dengan memberikan curahan kasih sayang kepada mereka. Pernah suatu saat beliau mencium cucunya, Hasan bin Ali RA. Waktu itu ada Arab Baduwi bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Dia menegur, “Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh orang anak, tetapi sama sekali tidak seorang pun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang orang itu dengan pandangan tidak setuju, lalu beliau berkata: “Aku tidak dapat menjamin kamu bila Allah mencabut rasa belas-kasihan dari hati kamu. Hai Habis, siapa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan, dia tidak akan mendapat rahmat.
Oleh karena itu, ada beberapa kewajiban kita terhadap anak. Pertama, memberikan kasih sayang dan perlindungan. Kasih sayang bukan berarti memberikan kecukupan materi tetapi lebih penting dari itu adalah mendengarkan suara dan tuntutan mereka serta mendampinginya dalam proses tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa.
Kedua, memberikan keteladanan dan pendidikan yang baik. Sebagian orang meyakini bahwa pendidikan untuk anak hendaknya dimulai sejak berada di dalam kandungan. Seorang ibu yang hamil dianjurkan untuk banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an. Maksudnya adalah orang tua harus senantiasa memberikan keteladanan tentang perilaku yang baik dan pesan-pesan moral. Jadi cara menyampaikan pesan kebaikan kepada anak adalah bukan sekadar dengan menyuruh, tapi lebih baik dengan contoh perbuatan.
Dalam hadits disebutkan, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Rafi’: “Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah mengajarkannya menulis, berenang dan memanah, dan janganlah anak itu diberi selain rizki yang halal.” Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: “Dekatlah kamu pada anak-anak dan perbaikilah budi pekerti mereka.”
Sepintas lalu, fokus hadits tersebut adalah hanya orang tua kandung. Padahal lebih luas dari itu. Orang tua di sini adalah seluruh komponen masyarakat. Khususnya pemerintah atau negara, adalah orang tua yang harus memberikan keteladanan yang baik, memberikan perlindungan, dan menjamin bagi pola kehidupan anak yang nyaman, membahagiakan dan mencerdaskan. Ini berarti, negara bertanggung jawab penuh menjamin hak-hak dasar anak, seperti tempat tinggal yang baik, akses pendidikan dan kesehatan murah, serta perlindungan hukum.
Setiap tindakan dan kebijakan yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan anak merupakan pelanggaran terhadap ajaran agama. Salah satu dari al-dharuriyyat al-khams (lima hak dasar manusia) adalah hifdz an-nasl (perlindungan generasi). Di sini, seluruh komponen masyarakat berhak menuntut negara agar memberikan kebijakan yang memberikan kenyamanan bagi tumbuhnya generasi yang bahagia, cerdas, sehat, dan mumpuni. Yaitu menuntut jaminan perlindungan hukum, pendidikan yang murah, sarana kesehatan yang berpihak pada rakyat banyak, dan lingkungan sosial yang kondusif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya, umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek bagi anak-anak yang mengalaminya atau kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di masa yang akan datang.
2. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami kekerasan atau perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Bagi setiap orang yang melanggar peraturan harus dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan perbuatannya karena semua kepentingan haruslah semata-mata demi kebaikan anak.
3. Pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak adalah tergantung dari kekerasan yang terjadi. Karena Islam juga “membolehkan” melakukan tindakan fisik tapi dengan tujuan disiplin bukan kekerasan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan karena anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Menelantarkan dan mensia-siakan anak juga sangat dilarang oleh agama Islam.
B. Saran
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka dan bisa sangat mengkhawatirkan kehidupannya di masa mendatang. Untuk itu kita harus lebih mengoptimalkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang yang terkait lainnya, dimana dalam pelaksanaannya harus lebih ditingkatkan dan terus diawasi agar tercapai atau sesuai dengan yang diharapkan bangsa Indonesia. Hukum Islam juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan atau dalam menindaklanjuti masalah kekerasan terhadap anak. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tapi bukan berarti semua tindakan bisa dilakukan mengatasnamakan agama Islam karena Negara kita bukan Negara Islam tetapi Negara hukum yang mempunyai peraturan-peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
An Nawawi. Irsyadul Aulad. Kairo : Dar el Fikr
Abdul hadi asy-Syal, al-Islam wa bina’ al-Mujtama’ al-fadhil.
Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Jakarta : An Najm. 2000
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Bandung : Nuansa, 2006
Ibnu Majah, Ahmad dan al-Bukhari. Al-Adab al-Mufrad
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta : Chandra Pratama. 1996
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. 1989
Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana. Dasar Aturan Umum. Jakarta : Ghalia. 1988
Bambang Poernomo. Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi Jakarta : Ghalia. 1990
Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) di Rumah Sakit, Jakarta : 2005
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Kerja sama APTIK dengan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum Bandung : Mandar Maju, 1995.
Hofeller dan La Rossa . Kekerasan Terhadap Anak dalam Kehidupan Sosial. Jakarta : Rieka Cipta. 1990
Irwanto, Fentini Nugroho dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia : Internasional Labour Organisation (ILO), Jakarta : 2001
Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1999
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia. 2000
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Press, 1986.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1988.
Suharto. Pembangunan, Kebijakasanaan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung : Lembaga Pembangunan Sekolah. 1997
R. Soesilo. Komentar KUHP. Jakarta : Politea. 1978
Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983
Rusmil. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak. Makalah disampaikan pada seminar sehari penanggulangan korban kekerasan pada wanita dan anak. Januari 2006
Perundang-undangan
Undang – undang Dasar 1945 amandemen 4
Kitab Undang-undang Hukum Pidan (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang N0.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Undang-undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Suharto, Edi. Kebijakan dan Program Perlindungan Anak Berbasis Komunitas Lokal, makalah yang disampaikan pada “Sosialisasi UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam konteks Pembangunan Pro-Anak”, Tegal : 2004
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1990
Situs
M. Khoidin, Hukum Perlindungan Anak Era Industri 2, http://www.bisnis.com. 2007
Taofik Andi Rachman, Stop Kekerasan Terhadap Anak, http://www.GEMA.com. 2007
Forum Kebebasan Anak. www.tabalong.go.id. 2006
Anak Indonesia. www.wordpress.com. 2005
Pendidikan Anak Usia Dini. http://heilraff.blogspot.com. 2004
Kepribadian Anak. http://www.kuis-bola.blogspot.com. 2005
Anak dan Sosial. http://www.dwp.or.id. 2007
M Lutfi. My Blog_ Stop, Kekerasan Pada Anak.html. 2006
YKAI. Fenomena Kekerasan Pada Anak.html 2007
Richard J Gelles. Child Abuse. Encyclopedia Article Encarta. http://Encarta.msn.com/encyclopedia. Juli 2004
0 Response for the "PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK"
Posting Komentar