Peneliti:
**) Bambang Sukamto, SH.MH
*) Ikbal Maherdika, SH.

BAB I

A.. Latar Belakang
Kejahatan seksual (sexual crime) terhadap anak-anak di bawah umur terjadi di banyak negara. Menurut peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menurut Rohman, kejahatan seksual terhadap anak-anak terjadi di negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan di Indonesia.
Dari beberapa kasus yang terungkap di Indonesia, diketahui aktivitas penyimpangan seksual ini terkait dengan kondisi ekonomi korban. Anak-anak praremaja yang berpotensi sebagai korban pada awalnya mendapat perlakuan ekonomis yang memuaskan dari pelaku yang umumnya adalah pria dewasa. Penyimpangan seksual dengan korban anak-anak seperti ini biasa disebut pedofilia.
Pelaku pedofilia umumnya tidak merasa cemas atau depresi, meski dalam banyak kasus ada juga yang kemudian merasa bersalah atau malu karena seringnya melakukan kegiatan seksual tidak normal. Pelaku rata-rata tidak merasa sakit atau menyadari kelainan seksual yang diderita, meskipun secara sosial aktivitas tersebut sering menimbulkan konflik di masyarakat.
Perilaku seks menyimpang dengan sesama jenis sebenarnya sudah terjadi pada zaman Nabi Luth ketika ia menetap di salah satu dusun di Palestina, namanya Saduum. Nabi Luth tinggal di dusun itu setelah berpisah dengan pamannya, Nabi Ibrahim. Nama Saduum sangat terkenal sebagai pusat kejahatan, pada masa itu. Setiap warga dusun berlomba dalam dunia kejahatan. Tindakan kriminalitas seperti perampokan, pembunuhan, perkosaan, menjadi kebiasaan mereka. Dan, yang paling menonjol adalah perilaku kaum pria melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis karena mereka menilai betapa buruknya perempuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, pria Saddum tidak tertarik kepada perempuan sebagai lawan jenisnya. Mereka membiasakan diri melakukan hubungan seksual dengan sesama pria dalam menyalurkan nafsu birahinya dan melepas syahwatnya. Hubungan seks sesama pria itulah salah satu tindak kejahatan yang membuat Saduum terkenal dan menjadi catatan dalam kehidupan manusia sampai sekarang yang disebut homoseksual.
Homoseksual adalah ketertarikan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis (pria dengan pria), sedangkan sesama wanita disebut lesbian. Ekspresi para pelaku homoseksual tidak selalu aktif bertindak sebagai pria dalam hubungan seksnya tetapi kadang-kadang bertindak sebagai pria kadang-kadang pula bertindak sebagai wanita.
Dalam kegiatan seks para homoseksual memperoleh kepuasan seksual dengan cara melakukan hubungan melalui anus (dubur). Kegiatan seks seperti ini dikenal dengan sebutan sodomi atau sexual analism. Penggunaan kata sodomi mengacu pada nama Kampung Saduum (Sodom dalam Bahasa Ibrani) yang tenar di masa Nabi Luth.
Kecenderungan sehari-hari di Indonesia sekarang ini, penggunaan kata homoseksual lebih ditujukan kepada kegiatan seksual sejenis antarpria berusia dewasa. Sedangkan pria dewasa yang melakukan penyimpangan seksual dengan objek anak-anak dikenal dengan sebutan pedofilia. Dalam tatanan hukum di Indonesia penyimpangan seksual terhadap anak-anak termasuk dalam tindak pidana kejahatan seksual dan melanggar hukum. Aktivitas seksual pada dua kelompok tersebut (homoseksual dan pedofilia) kerap dibarengi terjadinya sodomi (hubungan seksual melalui anus/dubur).
Pelaku pedofilia (pedofil) jelas amoral dan merusak kehidupan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya. Kejahatan seksual ini selain melanggar norma dan agama juga merupakan tindakan atau perbuatan yang melanggar undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sehingga bisa dipidanakan ke pengadilan. Dalam perundang-undangan dan ketentuan hukum di Indonesia dijelaskan bahwa kehidupan anak-anak di bawah usia 18 tahun menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat. Pemerintah menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan anak-anak.
Beberapa ahli forensik, psikolog, maupun psikiater, menyimpulkan bahwa pelaku pedofilia menderita gangguan kejiwaan. Pedofil mengalami kegagalan hubungan seksual dengan pasangan yang sebaya sehingga melakukan hubungan seksual dengan anak-anak untuk menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang pria. Pedofil mengalami frustrasi untuk berhubungan secara memadai dengan pasangannya sebagai partner orang dewasa sehingga mengalihkan kegiatan seksualnya kepada anak-anak sebagai penggantinya. Pedofil memperdaya anak-anak yang tidak berani melawan keinginannya baik dengan cara membujuk ataupun memaksa. Pedofil melakukan hubungan seksual berulang kali.
Perbuatan pelaku pedofilia mengakibatkan korban harus menanggung berbagai penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Korban memiliki masa depan yang suram, mengalami kerusakan anggota tubuh, menanggung malu dalam hidup bermasyarakat atau dengan lingkungan, tercekam rasa ketakutan sehingga trauma akan seks sepanjang masa.
Kasus pedofilia masih menjadi fenomena yang perlu dicermati. Beberapa kasus pedofilia terjadi di Indonesia dan korbannya anak-anak berusia antara tujuh tahun sampai dengan 18 tahun. Kasus pedofilia mencuat di Indonesia khususnya Jakarta, ketika beberapa anak berjenis kelamin pria ditemukan tewas mengenaskan mulai 28 April 1994 hingga 26 Juli 1996.
Semuanya korban pedofilia itu anak jalanan. Mereka tidak hanya menjadi korban sodomi, tetapi pada beberapa tubuhnya terdapat luka bekas bacokan senjata tajam dan luka memar. Mereka ditemukan menjadi mayat di semak-semak di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur dan eks Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Setelah beberapa korban berjatuhan, pelakunya diketahui bernama Siswanto alias Robot Gedek. Pria tunawisma resmi menjadi tersangka tanggal 27 Juli 1996.
Kasus pedofilia terbaru yang menjadi sorotan publik dan menarik perhatian Peneliti adalah kasus pedofilia yang terjadi di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Pelakunya adalah Peter W.Smith, pria kelahiran London 13 Maret 1958, berkewarganegaraan ganda (London dan Australia), pekerjaan Guru Bahasa Inggris beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Korbannya berjumlah tujuh anak berusia di bawah umur berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kejahatan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sangat tinggi. Komisi Nasional Perlindungan Anak mengategorikan tiga jenis kejahatan dalam bentuk kekerasan terhadap anak-anak yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Dari 736 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2005, kekerasan seksual terhadap anak-anak menempati urutan pertama yakni 327 kasus atau 44,43%.
Untuk membatasi maraknya kasus pedofilia di Indonesia, perlu adanya perundang-undangan atau ketentuan hukum yang memuat sanksi hukuman seberat-beratnya bagi pelaku pedofilia. Dalam hal ini aparat penegak hukum harus mampu menegakkan ketentuan secara tegas dan adil. Tegas berarti menerapkan sanksi hukum maksimal bagi pelaku sesuai perundang-undangan yang berlaku. Adil berarti tidak pandang bulu maksudnya tidak boleh memberi keistimewaan hukum dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku pedofila meski secara status sosial pelaku berasal dari golongan orang kaya atau menduduki jabatan penting. Sebab, kalau aparat penegak hukum melakukan ketidakadilan dalam penjatuhan hukuman dapat menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan semakin merebaknya kejahatan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.
Pemerintah berupaya mengatasi atau menekan terjadinya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur dengan memberlakukan perundang-undangan dan atau berbagai kekentuan hukum yang memuat sanksi hukuman bagi pelaku. Antara lain: Undang Undang Dasar, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Keppres No.77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kenyataan yang ada sekarang ini, meskipun pemerintah telah memberlakukan berbagai ketentuan hukum dengan sanksi hukuman fisik dan denda, masih belum menimbulkan efek jera pada masyarakat. Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa dalam menjerat pelaku kejahatan seksual masih bervariasi menggunakan perundang-undangan yang ada. Begitu pula dengan hakim dalam menjatuhkan hukuman atau vonis. Walaupun aparat penegak hukum dalam menjerat ataupun menjatuhkan hukuman kepada pelaku pedofilia berdasarkan Undang Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tetapi sampai saat ini belum ada satu hakim pun di Indonesia yang memvonis terdakwa dengan hukuman maksimal sesuai undang-undang tersebut yakni hukuman penjara 15 (limabelas tahun) dan denda Rp 300 juta subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
Penjatuhan sanksi hukum oleh hakim (tunggal) atau majelis hakim terhadap pelaku pedofilia di Indonesia masih menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Hal ini sangat terkait dengan kondisi kehidupan korban akibat perbuatan pelaku pedofilia, baik secara fisik maupun psikis (mental). Berbagai persoalan itulah yang melatar belakangi Peneliti menyusun Penelitian ini dengan judul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA.

B. Identifikasi Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan alasan pemilihan judul di atas, Peneliti membatasi permasalahan hanya pada ketentuan hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku pedofilia.
2. Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia?
b. Bagaimana penuntutan terhadap pelaku pedofilia?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia?
d. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaku pedofilia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia.
2. Untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku pedofilia.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia.
4. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap pelaku pedofilia.


D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia.
2 Diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai penuntutan terhadap pelaku pedofilia.
3. Diharapkan dapat memberikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia.
4. Diharapkan dapat memberikan pemahaman pandangan hukum Islam terhadap pelaku pedofilia.

E. Kerangka pemikiran
1. Kerangka Teoritis
Peneliti mengemukakan teori atau pendapat pakar yang berhubungan dengan masalah Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Pelaku Pedofilia.
a. Seksual
Berdasarkan Kamus Hukum, sex dalam bahasa Inggris diartikan dengan jenis kelamin. Jenis kelamin di sini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa'abah mengingatkan, "Membahas masalah seksualitas manusia tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksual telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu: a). seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang
sehat dan baik, dan b). seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat".
Secara umum seksualitas manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: biologis (kenikmatan fisik dan keturunan), sosial (hubungan-hubungan seksual, berbagai aturan sosial dan berbagai bentuk sosial melalui mana seks biologis diwujudkan), dan subjektif (kesadaran individual dan bersama sebagai objek dari hasrat seksual. Pendapat itu mempertegas pengertian seksualitas dengan suatu bentuk hubungan biologis yang terikat pada aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Dengan adanya kekerasan seksual maka ada penderitaan pada korbannya yang membutuhkan perhatian serius.
Menurut Boyke Dian Nugraha, DSOG MARS, definisi seks bisa dilihat dari beberapa dimensi.
- Dimensi Biologis, berkaitan dengan alat reproduksi. Di dalamnya termasuk pengetahuan mengenai hormon-hormon, menstruasi, masa subur, gairah seks, bagaimana menjaga kesehatan dan gangguan seperti PMS (penyakit menular seksual), dan bagaimana menfungsikannya secara optimal secara biologis.
- Dimensi Faal, mencakup pengetahuan mengenai proses pembuahan, bagaimana ovum bertemu dengan sperma dan membentuk zigot dan seterusnya.
- Dimensi Psikologis, seksualitas berkaitan dengan bagaimana kita menjalankan fungsi kita sebagai makhluk seksual dan identitas peran jenis. Mengapa pria dipandang lebih agresif daripada wanita?
- Dimensi Medis, adalah pengetahuan mengenai penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seks, terjadinnya impotensi, nyeri, keputihan dan lain sebagainya.
- Dimensi Sosial, seksualitas berkaitan dengan hubungan interpersonal (hubungan antarsesama manusia). Seringkali, hambatan interaksi ditimbulkan oleh kesenjangan peran jenis antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan idola asuh yang lebih memprioritaskan posisi laki-laki. Anggapan tersebut harus diluruskan karena jenis kelamin tidak menentukan mana yang lebih baik atau berkualitas.
b. Anak
Menurut Arif Gosita, anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa yang merupakan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha aspirasi bangsa Indonesia yang adil dan makmur spiritual dan material. Anak adalah modal pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan modal pembangunan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik mental dan sosial bangsa.
Seto Mulyadi menyebut anak adalah modal dasar dalam keberlanjutan suatu bangsa dan negara di masa depan.
c. Pedofilia
1). Menurut Sunaryo pedofilia adalah pemuasan seksual dengan objeknya anak, baik sejenis atau lawan jenis yang belum akil baligh.
2). Menurut Mun’im Idris, Ahli Forensik:
Pengidap pedofilia melakukan hubungan seksual dengan anak-anak untuk menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang pria karena mengalami kegagalan hubungan seksual dengan pasangan sebaya.
3). H. Dadang Hawari, Psikiater:
Pengidap pedofilia adalah penderita kelainan jiwa yang melakukan penyimpangan seksual dan memiliki kecenderungan untuk mengulangi perbuatannya.
4). Yupiter Sulifan, Sarjana Psikologi:
Korban pedofilia bisa memiliki masa depan yang suram. Secara psikis: mengalami trauma akan seks, menanggung malu sepanjang masa. Secara fisik mengalami cedera.

2. Kerangka Konseptual
a. Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 28 B ayat (2) menyatakan :
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 butir 1 menyatakan :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 butir 2 menyatakan :
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 58 ayat (1) menyatakan :
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya atau pihak lainnya manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

d. Keputusan Presiden RI Nomor 77 tahun 2003 tentang Keputusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Pasal 1 menyatakan :
Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.

F. Metodelogi Penelitian
Dalam buku “Pengantar Pola Pikir Ilmiah Islami” yang dimaksud metode penelitian adalah salah satu cara rancangan penelitian berdasarkan sifat masalah. Meliputi sembilan kategori, yaitu: penelitian historis, deskriftif, perkembangan, kasus dan penelitian lapangan, korelasional, kausal komperatif, ekperimental, eksperimental semu, dan penelitian tindakan.
Dalam penyusunan Penelitian sebagai karya tulis ilmiah, Peneliti menggunakan penelitan deskriptif yaitu suatu penelitian mengenai status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang.
Metode penelitian dalam hal ini adalah tata cara menyelenggarkan penelitian dengan pengumpulan data, fakta, dan informasi yang akurat dalam penyusunan Penelitian sebagai karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penelitian deskriptif ini, Peneliti menggunakan dua metode: Library Research dan Field Research.
a. Metode Library Research atau kepustakaan yaitu Peneliti mengumpulkan data-data dari berbagai buku, makalah, dan media massa.
b. Metode Field Research atau penelitian lapangan yaitu Peneliti mendatangi
objek penelitian dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dalam pembahasan Penelitian ini.
G. Lokasi dan Lama Penelitian
Sehubungan dengan Penelitian ini maka Peneliti melakukan penelitian kepustakaan di perpustakaan Universitas Islam Jakarta (UIJ) Jalan Balai Rakyat, Jakarta Timur, dan beberapa perpustakaan di Jakarta, selama enam bulan.



















BAB II
HASIL PENELITIAN

A. Kasus Posisi, Proses Penyidikan dan Upaya Paksa
1. Kasus Posisi
Peter W.Smith berjenis kelamin laki-laki berusia 48 tahun, kelahiran London, agama Kristen, pekerjaan guru Bahasa Inggris, pendidikan sarjana, kewarganegaraan Inggris dan Australia, alamat Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7, Jakarta Selatan.
Tersangka Peter W.Smith melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap tujuh anak jalanan (pengamen) berjenis kelamin laki-laki sejak tahun 2003 hingga 31 Juli 2006 pukul 16.00 di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7, Jakarta Selatan. Ketujuh korban adalah Slamet Sandikah lahir Jakarta 25 Desember 1991, Rio Ruswan Iriansah lahir Manado 09 Februari 1989, Deni Mochamad lahir Medan 1991, Wawan Rahmat Kurniawan lahir Lampung 10 Oktober 1991, Arif Budiman alias Dani lahir Surabaya 01 Februari 1993, Wasja Jaya Kirana lahir Brebes 10 Desember 1989, dan Maryanto alias Yanto lahir Semarang 15 Januari 1990.
Diadukan oleh Andri Cahyadi lahir Bekasi 15 Juni 1978 sukarelawan LSM Pemberdayaan Ekonomi Terpinggirkan (PEKAT), pengurus Yayasan Jakarta Centre For Street Children (JCSC) alamat Jalan Percetakan Negara XI A No.90-B RT 004/005 Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat sebagai orangtua asuh para korban mengadukan perbuatan cabul Peter W.Smith.
Tersangka Peter W.Smith melakukan perbuatan cabul terhadap diri korban dengan cara tersangka menyuruh korban untuk membuka seluruh pakaiannya kemudian tersangka sendiri juga membuka seluruh pakaiannya selanjutnya tangan kiri tersangka memegang alat kelamin korban dan tangan kanan tersangka memegang alat kelaminnya sendiri sampai terjadi ejakulasi. Menurut para korban dan diakui juga oleh tersangka bahwa dalam melakukan perbuatan cabul selain dengan cara memegang alat kelamin, tersangka juga sering menyuruh para korban untuk melakukan ‘onani’ dan kemudian tersangka merekam dengan menggunakan handycam yang selanjutnya rekaman tersebut dimodifikasi lalu hasil modifikasi tersebut disimpan dalam bentuk kaset video dan DVD. Dan, setelah melakukan perbuatan cabul terhadap para korban tersangka memberi imbalan kepada setiap korban Rp 35.000 (tigapuluh limaribu rupiah) ditambah ongkos Rp 5.000 (limaribu rupiah). Sedangkan bagi korban yang bersedia direkam gambarnya saat melakukan ‘onani’, tersangka memberi imbalan setiap orang Rp 5.000 (limaribu rupiah).
Atas perbuatan tersangka Peter W.Smith tersebut Andri Cahyadi, pengurus Yayasan Jakarta Centre For Street Children (JCSC) alamat Jalan Percetakan Negara XI A No.90-B RT 004/005 Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat selaku orangtua asuh dari para korban mengadukan kejadian tersebut ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polisi Republik Indonesia Daerah Metro Jaya dan sekitarnya (Polda Metro Jaya) dengan No.Pol.: LP/2939/VIII/2006/SPK Unit I, tanggal 02 Agustus 2006. Tersangka melanggar pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

2. Proses Penyidikan dan Upaya Paksa
Penyidikan menurut UU RI No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 2, penyidikan adalah serangkaian penyidik dalam hal dan menurut cara yang undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses penyidikan hendaknya memenuhi ketentuan aspek: tindak pidana yang telah dilakukan, tempat tindak pidana dilakukan, alat tindak pidana dilakukan, cara tindak pidana dilakukan, dengan alat apa tindak pidana dilakukan, latar belakang sampai tindak pidana dilakukan, dan siapa pelaku tindak pidananya.



Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (a), Penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
2. Melakukan tindak pertama pada saat di tempat kejadian.
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara.
9. Mengadakan penghentian penyidikan.
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

a. Penyidikan
Dalam kasus Peter W.Smith, tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Tugas No.Pol.:SP.Gas/2436/VIII/2006/Dit. Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, Kompol Marhani, AKP Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus perbuatan cabul yang dilaporkan Andri Cahyadi atas tersangka Peter W.Smith.
Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan No.Pol.: SP.Sidik/2437/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, AKP Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penyidikan tindak pidana perbuatan cabul yang dilakukan tersangka Peter W.Smith terhadap korban Rio dkk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penyidikan tersebut telah sesuai dengan Undang undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 1 yaitu: penyidik adalah Pejabat Polisi negara RI atau Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan.

Dari hasil pemanggilan saksi-saksi didapat beberapa keterangan-keterangan yaitu:
1. Andri Cahyadi, menerangkan:
Mengetahui anak-anak menjadi korban perbuatan cabul terdakwa Peter Smith tanggal 2 Agustus 2006 sekitar jam 14.00 WIB saat berada di Jakarta Center For Street Children (JCSC) di Jalan Percetakan Negara XI A No. 9 B Rt.004/005 Rawasari Cempaka Putih Jakarta Pusat ketika Deni dibonceng Dani dan Pian bahwa saksi korban Dani dan Pian melarikan diri dari rumah Peter Smith.
2. Slamet Sandikah, menerangkan:
Terdakwa terakhir kali menyuruh saksi melakukan onani Senin 31 Juli 2006 sekitar pukul 16.00 WIB, saat itu saksi datang bersama dengan saksi Deni dan setelah melakukan perbuatan tersebut terdakwa memberi saksi Slamet uang Rp 76.000 (tujuhpuluh enam ribu rupiah).
3. Rio Ruswan Iriansah, menerangkan:
Terdakwa menutup pintu kamar ketika saksi berada di dalam kamar kemudian membuka pakaian saksi dan terdakwa membuka celana panjangnya. Terdakwa dan saksi sama-sama telanjang, terdakwa mengoleskan lotion pada alat kelamin saksi. Menyuruh saksi memegang alat kelamin terdakwa dan terdakwa memegang alat kelamin saksi sampai terdakwa mengeluarkan sperma, kemudian memberikan uang Rp 35.000 (tigapuluh limaribu rupiah).
4.Wawan Rahmat Kurniawan, menerangkan :
Saksi mengenal terdakwa karena diajak temannya Dedi Apriansyah (tidak mengetahui alamatnya) ke rumah terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi masuk kamar di lantai dua. Terdakwa menyuruh saksi memijat punggung di tempat tidur dan membuka semua pakaian saksi sampai saksi telanjang bulat dan terdakwa juga membuka bajunya sendiri. Selama lebih kurang tiga menit sampai alat kemaluan saksi mengeluarkan sperma dan bergantian jari tangannya dimasukkan ke lubang dubur saksi. Terdakwa ingin memasukkan alat kelaminnya ke dalam lubang dubur saksi namun saksi berontak. Setelah terdakwa mengeluarkan sperma memberikan uang Rp 35.000 (tigapuluh lima ribu rupiah) lalu menyuruh saksi turun. Terdakwa memanggil saksi Dedi Apriansyah naik ke lantai dua.
5. Wasja Jaya Kirana, menerangkan:
Di rumah terdakwa, saksi Wasja dan Slamet disuruh mandi dan menonton VCD porno, lalu dipanggil ke kamar terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi mengunci pintu kamar dan membuka baju sambil menawarkan uang, dan terdakwa meraba-raba tubuh saksi lalu menyuruh saksi memijat punggungnya, terdakwa memegang alat kelamin saksi dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegang alat kelaminnya sendiri. Terdakwa mengocok alat kelaminnya dan kelamin saksi hingga terdakwa mengeluarkan sperma dan memberi uang Rp 75.000 (tujuhpuluh lima ribu rupiah) untuk saksi Wasja dan Slamet.


6. Maryanto alias Yanto, menerangkan:
Sekitar tahun 2005 saat saksi Maryanto alias Yanto diajak Slamet ke rumah terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi Maryanto mandi, masuk kamar dan membuka bajunya. Terdakwa menyuruh saksi melakukan onani, dengan cara salah satu tangan terdakwa memegang alat kemaluan saksi, tangan yang satu terdakwa memegang alat kelaminnya sendiri (bergantian memegangnya antara tangan kanan dan tangan kiri) sampai terdakwa dan saksi mengeluarkan sperma kemudian memberi uang Rp 30.000 (tigapuluh ribu rupiah) untuk saksi Maryanto dan Slamet.
Pemanggilan saksi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana pada Pasal tersebut menyatakan:
“Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Pasal 1 butir 26 Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu: saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
b. Penangkapan
Dalam pasal 1 butir 21 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penangkapan berarti suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan No.Pol.: SP.Kap/964/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, Kompol Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka Peter W.Smith di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Terdakwa ditangkap dengan alasan: Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan sementara diperoleh bukti yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana Perbuatan Cabul, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 undang undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga dapat dilakukan penangkapan.
Penangkapan tersebut telah sesuai dengan Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 16 ayat 1 yaitu: untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
Menurut Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ada di dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Pasal 16 ayat (2) menyatakan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan”.
Sedangkan dalam Pasal 17 disebutkan: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tidak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, maksudnya bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dan diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan bukti permulaan yang cukup itu harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan penangkapan. Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang –wenang, akan tetapi hanya dapat ditujukan kepada mereka yang betul-betul telah melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 19 ayat (1) menyebutkan: “Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.”
Jadi menurut Peneliti penangkapan tersebut telah memenuhi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 17 dan 19.
c. Penahanan
Pasal 1 butir 21 Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menerangkan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Tanggal 06 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penahanan No.Pol.: Sp. Han/ 419 /VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Eni Dwi Djajanti, dan Briptu
Yogi Warastuti melakukan penahanan terhadap tersangka Peter W.Smith di Rutan Biro Ops Polda Metro Jaya terhitung tanggal 06 Agustus 2006 sampai dengan 25 Agustus 2006.
Pasal 21 ayat (1) menyatakan:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan keadaan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

Terdakwa ditahan dengan alasan:
1. Bahwa tersangka dikhwatirkan akan melarikan diri atau
2. Akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan
3. Atau mengulangi tindak pidana.

Penahanan tersangka tersebut telah sesuai dengan Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 20 sampai dengan Pasal 31, dimana Pasal 20 ayat (1) menyatakan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan.


Sedangkan dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a, menyatakan:
“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan sementara diperoleh bukti yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan.
Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan: “Jenis penahanan dapat berupa:
a. Penahanan rumah tahanan negara;
b. Penahanan rumah;
c. Penahanan kota.
Pasal 24 ayat (1) menyatakan: “Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.”
Berdasarkan surat perpanjangan penahanan Nomor: B-4354/O.1.4/Epp.1/08/2006 dari Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melakukan perpanjangan penahanan terhadap Mr.Peter W. Smith dikarenakan tersangka pemeriksaan terhadap tersangka belum selesai, adapun masa perpanjangan penahanan tersangka dimulai dari tanggal 26 Agustus 2006 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2006 di Rumah Tahanan Polda Metro jaya dimana perpanjangan penahanan tersebut telah sesuai dengan Pasal 24 ayat (2), yaitu;
“Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari”.

d. Penggeledahan
Dijelaskan dalam pasal 1 angka 17 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penggeledahan adalah tindakan ‘penyidik’ yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.
Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penggeledahan No.Pol.: SP.Dah/555/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, Kompol Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho.
Untuk melakukan penggeledahan rumah dan atau tempat tertutup lainnya di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan dan sekitarnya yang diduga sebagai tempat kejadian perkara/tempat persembunyian tersangka/tempat disembunyikan barang-barang bukti sehubungan dengan terjadinya tindak pidana perbuatan cabul sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atas nama tersangka Peter W.Smith.
Penggeledahan tersebut telah sesuai dengan peraturan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 32 yang berisi:
“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

e. Penyitaan
Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diterangkan bahwa definisi penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Surat Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Perintah Penyitaan No.Pol.: SP.Sita/1556/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH dan AKP Eni Dwi Djajanti.
Dari kasus ini Peneliti menyimpulkan bahwa:
Tanggal 09 Agustus 2007, Berdasarkan Surat Perintah Penyitaan No.Pol.: SP.Sita/1556/VIII/2006/Dit Reskrimum, tanggal 04 Agustus 2007, Kompol Murnila SH, AKP Eni Dwi Djajanti, dan Briptu Yogi Warastuti, melakukan penyitaan barang bukti berupa:


1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;
2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;
3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);
4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;
5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;
6). 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;
7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;
8). 4 (empat) lembar poster
9). 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi
10). 7 (tujuh) botol lotion
11). 7 (tujuh) album foto;
12). 2 (dua) lembar kliping;
13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;
Dalam melakukan penyitaan tersebut telah memenuhi ketentuan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Pasal 38 ayat (2) menyatakan:
“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”


Sedangkan menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pada Pasal 38 ayat (1) menyatakan sebagai berikut: “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”



Dan dalam hal tertangkap tangan dijelaskan di dalam Pasal 40 yaitu:
“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”
Untuk itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Penetapan Nomor: 2108/Pen.Per.Sit/2006/PN Jak-Sel. Dilakukan penyitaan dengan alasan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dalam peristiwa Tindak Pidana Perbuatan cabul.
Hal tersebut diatas telah sesuai dengan Pasal 39 ayat(1) huruf b, yang menyatakan: “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: b. benda telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
Dari kasus diatas Peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1. Barang Bukti, terdiri dari:
1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;
2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;
3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);
4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;
5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;
6). 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;
7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;
8). 4 (empat) lembar poster
9). 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi
10). 7 (tujuh) botol lotion
11). 7 (tujuh) album foto;
12). 2 (dua) lembar kliping;
13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;
Alasan penyitaan yaitu:
1. Karena penyitaan benda yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana Perbuatan Cabul sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dilakukan oleh tersangka Mr. Peter (Warga Negara Asing) terhadap korban RIO dan kawan-kawan yang terjadi pada bulan Mei 2006 di dekat Taman Tebet Timur Dalam Jakarta Selatan.
2. Melakukan pembungkusan dan atau penyegelan dan dilabel terhadap benda atau surat atau tulisan lain yang disita.

B. Penuntutan Terhadap Pelaku Pedofilia

Pasal 1 butir 7 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diterangkan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam melakukan penuntutan tersebut harus memenuhi ketentuan Undang undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 137 menyatakan: “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Dalam Pasal 140 ayat 1 Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Sedangkan dalam Pasal 143 ayat 1 Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan: “Penuntut umum melimpahkan ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.”
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dalam Surat Dakwaan NO.REG.PERKARA: PDM-2144/JKT.SLT.10/2006, Jaksa Penuntut Umum Bayu Pramesti, SH., Jaksa Pratama Nip.230025243, mendakwa Peter W.Smith telah melakukan perbarengan beberapa tindak pidana perbuatan cabul di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Inti dari dakwaan, jaksa mendakwa terdakwa Peter W.Smith telah melakukan kegiatan seksual dengan anak-anak berjenis kelamin laki-laki. Terdakwa telah melakukan tindak pidana pencabulan melanggar Pasal 82 UU No.23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak junto Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Berdasarkan uraian diatas maka bentuk surat dakwaan ialah tunggal atau biasa, Peneliti melihat bahwa terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak dan tersangka hanya menyuruh para korban untuk melakukan ‘onani’ dan kemudian tersangka merekam dengan menggunakan handycam yang selanjutnya rekaman tersebut dimodifikasi lalu hasil modifikasi tersebut disimpan dalam bentuk kaset video dan DVD. Dimana tindakan terdakwa tersebut hanya mendapat keyakinan bahwa terdakwa hanya melanggar Pasal 82 Undang undang No.23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab undang Hukum Pidana)
Akibat perbuatannya tersebut Jaksa Penuntut Umum, menuntut terdakwa pada sidang Tuntutan Pidana tanggal 31 Januari 2007, Jaksa Penuntut Umum meminta supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa Peter W.Smith terbukti bersalah menurut hukum dan keyakinan melakukan tindak pidana melakukan perbarengan beberapa kejahatan pencabulan terhadap anak melanggar pasal 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 35 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Peter W. Smith dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi masa penahanan denda sebesar Rp 60.000.000 (enampuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
c. Menyatakan barang bukti berupa:
1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC.
2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G 4.
3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive).
4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer.
5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35.
Dirampas untuk negara.

6). 40 (empatpuluh) kaset handycam pornografi.
7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD pornografi.
8). 4 (empat) lembar poster.
9). 17 (tujuhbelas) keping VCD pornografi.
10). 7 (tujuh) botol lotion.
11). 7 (tujuh) album foto.
12). 2 (dua) lembar kliping.
13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imation.
Dirampas untuk dimusnahkan.




d. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara Rp1.000 (seribu rupiah).
Demikian dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, terhadap terdakwa Peter W.Smith yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana pencabulan.
C. Pertimbangan dan Putusan Hakim
Dalam penjatuhan hukuman terhadap terdakwa pelaku pedofilia Peter W.Smith, Majelis Hakim yang terdiri dari: Ketua H.Soedarmadji, SH.M.Hum, Hakim Anggota H.Wahjono, SH.M.Hum dan Aswan Nurcahyo, SH, dengan Panitera Pengganti Dugo Prayogo, SH, menyampaikan beberapa pertimbangan terkait dengan keterangan para saksi korban, dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maupun pembelaan tersangka. Majelis Hakim juga melakukan pemeriksaan.
Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul;
3. Melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri.
Majelis berkeyakinan bahwa apa yang telah terbukti di atas adalah merupakan perbuatan terdakwa yang secara sah menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya yang akan dinyatakan pada amar putusan perkara ini;
Sesuai jiwa dari Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada terdakwa oleh karena dinyatakan terbukti bersalah maka kepada terdakwa akan dihukum pula untuk membayar denda yang jumlahnya disesuaikan dengan kadar kesalahan terdakwa yang akan ditetapkan pada putusan ini dan akan dibebani biaya pemeriksaan perkara ini;
Terhadap barang bukti, majelis sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum, karenanya terhadap barang-barang bukti termaksud akan ditetapkan sebagaimana tersebut dalam putusan ini. Masa penahanan terdakwa dalam rumah tahanan sebelum putusan dijatuhkan akan dikurangkan seluruhnya masa penahanan tersebut;
Pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata dijatuhkan begitu saja sebagai tindakan balas dendam atas kesalahan terdakwa tetapi akan lebih ditekankan pada segi tujuan pemidanaan itu sendiri yaitu sebagai pembinaan dan penyadaran agar terdakwa dapat memperbaiki perilakunya dikemudian hari guna lebih berhati-hati dan menjaga sikap serta perbuatannya untuk tidak mengulangi melakukan perbuatan yang serupa apalagi dilakukan di Indonesia yang agamis;
Bagi masyarakat luas, pemidanaan tersebut diharapkan dapat memberikan peringatan untuk tidak meniru dan mencontoh perbuatan terdakwa demi keselamatan sendiri dan ketentraman di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara;
Agar pidana yang dijatuhkan benar-benar memberikan rasa keadilan baik bagi terdakwa dan masyarakat luas, majelis hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan yang meringankan bagi terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan menimbulkan trauma bagi para korban, terdakwa pernah dihukum, dalam melakukan perbuatan pidananya terdakwa lebih mengandalkan pada kekuatan ekonomi/keuangannya;
Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa sopan dan berterus terang sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan, menyesali perbuatannya dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi.
Majelis Hakim dalam persidangan tanggal 26 Februari 2007, menyatakan terdakwa Peter W.Smith secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Perbarengan beberapa kejahatan pencabulan terhadap anak. Menghukum terdakwa Peter W.Smith dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama dalam penahanan, 3 bulan kurungan dan denda Rp 75.000.000 (tujuhpuluh lima juta rupiah) subsidair tiga bulan kurungan. Dasar putusan majelis hakim sesuai dengan surat tuntutan yang di ajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yaitu dengan Pasal 82 Undang undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang undang Hukum Pidana. Adapun alasan yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan itu telah meresahkan masyarakat dan membuat trauma pada para korban. Terdakwa juga pernah dihukum empat tahun penjara dalam kasus pelanggaran yang sama di Australia tahun 1994.
Di sebutkan bahwa Pasal 82 Undang undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yaitu setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Menurut pasal 183 Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasarkan fakta dan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka unsur Pasal 184 telah terpenuhi, yaitu:


Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi,
b. Keterangan ahli,
c. Surat,
d. Petunjuk,
e. Keterangan Terdakwa.
Dari keseluruhan bukti-bukti yang ada, maka hakim memandang pemeriksaan sidang telah selesai, hal ini sesuai dengan Pasal 183 No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana,yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dan berdasarkan penjelasan Pasal 184 Undang undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan perkara ini, mengadili:
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 26 Februari 2007 No. 2239/Pid.B/PN.JAK.SEL. Mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sehingga amar selengkapnya adalah sebagai berikut;
1. Menyatakan terdakwa Peter W.Smith telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbarengan beberapa kejahatan percabulan terhadap anak”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp 75.000.000 (tujuhpuluh lima juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Memerintahkan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;
b. 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;
c. 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);
d. 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;
e. 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;

Dirampas untuk negara

f. 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;
g. 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;
h. 4 (empat) lembar poster;
i. 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi;
j. 7 (tujuh) botol lotion;
k. 7 (tujuh) album foto;
l. 2 (dua) lembar kliping;
m. 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;
Dirampas untuk dimusnahkan
6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara untuk kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp1.000 (seribu rupiah).
Demikian akhirnya perkara itu diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dari fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, jelaslah bahwa terdakwa Mr. Peter W.Smith telah melakukan tindak pidana pencabulan yang bukti-bukti tersebut dapat dilihat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu pada analisa kasus ini Peneliti akan menguraikan unsur-unsur yang didakwakan terhadap terdakwa Mr. Peter W. Smith.
Unsur barang siapa dalam pengertian hukum pidana yang sering digunakan dalam praktek peradilan di Indonesia adalah siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Adapun yang dimaksud barang siapa disini adalah siapa saja sebagai subjek hukum yang terhadapnya didakwakan telah melakukan perbuatan pidana. Atau bisa juga berarti tentang subjek/pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana dengan maksud untuk meneliti dan menghindari adanya ‘error is pesona’ dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap seseorang.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu keterangan saksi, dan keterangan terdakwa Mr. Peter W. Smith inilah terdakwa ditangkap oleh Polda Metro Jaya di bulan Agustus 2007, bertempat di daerah Jalan Tebet Timur Dalam X E No. 7 Jakarta Selatan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur Barang siapa telah terbukti secara sah menurut hukum.
Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, unsur ini tertulis kata atau yang berarti dan bersifat alternatif maksudnya apabila salah satu saja perbuatan sudah terbukti maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipengadilan, Peneliti melihat terdakwa melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, dan membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Berdasarkan data tersebut, maka terlihat ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk.
Dari keseluruhan bukti-bukti yang ada, maka hakim memandang pemeriksaan sidang telah selesai, hal ini telah sesuai dengan Pasal 183 No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.



D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pedofilia
Seksual adalah potensi kelamin yang terdapat dalam diri manusia. Potensi ini merupakan salah satu dorongan naluriah seperti halnya dorongan lain yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala anugerahkan kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan. Dorongan seks mempunyai tugas hidup tersendiri yaitu untuk kelestarian umat manusia di bumi sampai waktu yang telah ditentukan Allah SWT yang telah menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-Nya serta menentukan kadar masing-masing yang ada pada diri manusia. Namun, tidak berarti bebas mencari kepuasan tanpa kendali.
Menurut Yusuf Abdul Hadi Asy-Syal, dorongan seksual dalam pandangan Islam mendapat tempat yang layak. Tidak dihina tetapi juga tidak boleh menjadi suatu penyebab keruntuhan derajat seseorang. Seksual dalam Islam merupakan sarana pelestarian umat manusia dalam tugasnya untuk melanjutkan kehidupan sehingga Islam mengatur sarana pelampiasan seksual secara sah. Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan akad nikah dengan istilah “mitsaaqan ghaliizhan” (perjanjian yang berat). Ini dimaksudkan supaya terasa adanya kewajiban, adanya amanat yang harus dipertanggungjawabkan antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), dan adanya tanggung jawab terhadap risiko-risiko hubungan pernikahan. Karena, anak-anak yang mereka lahirkan ke bumi merupakan darah daging mereka sendiri yang perlu dipersiapkan untuk masa depannya.
Agama Islam melarang dan mengharamkan perilaku penyimpangan seksual dalam penyaluran syahwat karena Islam telah memberi tuntutan bagi manusia melalui Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah Rosul. Seperti telah diuraikan sebelumnya, kehidupan manusia pada zaman Nabi Luth Alaihi Salam menjadi peringatan dan pelajaran bagi kehidupan kita. Kehidupan sehari-hari sebagian besar kaum Luth di dusun Saduum di Palestina berlomba dalam kejahatan. Yang paling keji setiap laki-laki menyalurkan syahwat kepada lelaki lainnya. Bukan kepada perempuan. Luth terus mengingatkan kaumnya agar menjauhi atau meningalkan perbuatan keji.
Seperti tercantum dalam Kitab Suci Al Qur’an Surat An-Naml ayat 54-55:

Artinya:
Luth berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (seperti zina, homoseksual, dan sejenisnya) itu, sedang kamu mengetahui (kekejian)? Mengapa kamu mendatangi pria untuk memenuhi nafsu (mu) bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu tergolong kaum jahil (bodoh).

Luth merasa tidak mampu membimbing kaumnya yang sesat. Mayoritas warga Saduum tidak mematuhi nasihat ataupun peringatan Luth sehingga Luth memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka turunlah azab dan siksa yang amat pedih. Bumi berguncang hebat, gubuk, rumah, gedung, dan gunung runtuh, kemudian hujan batu. Sekejap mata datarlah kampung Saduum dan lenyaplah semua penduduk yang jahat, ingkar, dan durhaka itu termasuk istri Nabi Luth turut musnah karena termasuk golongan orang yang kafir. Sedangkan Nabi Luth dan dua putrinya serta orang-orang yang beriman dengannya, dihindarkan dari siksa yang amat hebat.
Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Artinya:
“Orang-orang yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (bersetubuh dengan yang sejenis atau homoseksual), bunuhlah yang melakukan dan dilakukan itu (dua-duanya), dan orang yang kalian dapati yang sedang melakukan perbuatan itu terhadap binatang, maka bunuhlah orang itu dan bunuh pula binatang itu.” Dari Ibnu ’Abbas R.A. diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang Empat, dan rawi-rawinya dapat dipercaya, tapi padanya ada perselisihan.
Perilaku penyimpangan seksual sesama laki-laki (homoseksual) yang terkenal pada zaman Nabi Luth terjadi pula dalam kehidupan manusia berikutnya seperti sekarang ini.
Bahkan di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, dan Israel, kehidupan manusia berperilaku homoseksual mendapat tempat dalam lingkungan kehidupan sebagai warga negara dan menjadi komunitas kaum homoseksual. Sedangkan negara-negara Islam atau negara lainnya terutama yang berpenduduk mayoritas Islam, sangat menentang adanya komunitas kaum homoseksual.
Menurut laporan KINSEY, 37% pria kulit putih Amerika menderita penyakit homoseksual. Kebanyakan terjadinya penyimpangan seksual di Amerika berlatar belakang faktor jasmani dan rohani. Ada yang merupakan pembawaan sejak lahir, maupun tingginya daya rangsang yang mendorong untuk melakukan hubungan seks dengan sesama. Faktor rohani yakni gangguan psikis karena kesalahan dalam hubungan keluarga, seks, pendidikan, atau karena pengalaman pahit dalam seks maupun seks yang abnormal.
Islam memerintahkan umat agar menghindari perbuatan penyimpangan seksual karena sebagai perbuatan sangat tercela dan keji. Dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151:

Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, apa yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”
Dalam buku "Tarjamah Bulughul Maram, Fiqih Berdasarkan Hadist" dijelaskan bahwa Rasululllah SAW juga bersabda:


“Jauhilah oleh kalian kekejian-kekejian yang telah dilarang Allah ini. Barang siapa berbuat dosa maka berlindunglah dengan lindungan Allah dan hendaklah ia bertobat kepada Allah ta’ala. Dan barangsiapa yang menampakkan mukanya (mengakui kesalahannya) niscaya kami jatuhkan hukuman dari kitab Allah padanya.” Dari Ibnu Umar r.a diriwayatkan oleh Hakim, dan hadist ini dalam Muwatha dari Marasil Zaid bin Aslam.
Di Indonesia perilaku penyimpangan seksual terutama sesama jenis lelaki atau homoseksual sebagai perbuatan terkutuk dan melanggar sehingga yang tertangkap melakukan diajukan ke pengadilan. Begitu juga dengan pedofilia perwujudan penyimpangan seksual orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan kejahatan seksual sehingga yang tertangkap melakukan pedofilia dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku khususnya Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Islam sangat melarang tindak kejahatan atau kekerasan terhadap anak-anak baik secara fisik maupun mental.
Ajaran Agama Islam sangat jelas melindungi kehidupan anak-anak dengan memasang kaidah pendidikan yang kokoh, bijaksana dan benar. Ketika Islam menegaskan bahwa anak-anak kita adalah darah daging kita sendiri yang berjalan di atas bumi, dan merupakan hakekat dari arti hidup kita yang terwujud dalam bentuk manusia, hingga kelak di mana Allah sendiri yang akan mewarisi bumi seisinya, maka Islam membangkitkan perasaan cinta yang terdapat dalam jiwa raga terhadap mereka, lalu menggariskannya sistem pendidikan anak-anak yang sangat ideal.
Islam sangat menyayangi anak-anak untuk kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Islam sangat memperhatikan hak-hak anak atau generasi mendatang. Para orangtua diberikan kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 266 Allah SWT berfirman:


“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mencapai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawah sungai-sungai, dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang lemah-lemah maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah.”
Dalam ayat ini Allah SWT memperingatkan kita agar tidak meninggalkan keturunan (generasi mendatang) yang lemah-lemah karena mementingkan harta benda yang mewah dan banyak. Anak merupakan cobaan dari Allah yang apabila dihadapi dengan sabar maka pahala dan ridha Allah menjadi balasannya.
Dalam surat An-Anfaal ayat 28 Allah SWT berfirman :


Artinya:
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah percobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q.S Al-Anfaal : 28)
Ayat ini juga merupakan peringatan kepada manusia khususnya para orangtua untuk senantiasa peduli terhadap perkembangan dan pendidikan anak-anak mereka, karena apabila salah didik anak juga mungkin menjadi malapetaka bagi orangtuanya dan tentu saja bagi masyarakat dan bangsa.
Setiap anak mempunyai hak atas kehidupannya yang layak demi perkembangan dan pertumbuhannya yang baik. Anak membutuhkan kasih sayang tidak hanya dari orangtua tetapi dari siapa atau pihak manapun, sesuai tuntunan Islam dan berdasarkan peraturan kenegaraan. Demi masa depan, anak harus mendapat perhatian lebih dan perlindungan terutama dari orangtua, keluarga, pihak lain ataupun negara dari suatu tindak kejahatan termasuk pedofilia.
Agama Islam sangat memperhatikan semua aspek kehidupan anak khususnya terhadap aspek pedofilia. Islam sangat melindungi dan telah mengingatkan kita seperti yang tertulis dalam hadist:


“Siapa yang mencium anak-anak dengan disertai nafsu, maka dia akan dibelenggu dengan kendali dari api neraka.”
Kejahatan seksual terhadap anak-anak karena menurunnya kualitas keimanan seseorang (pelaku). Pelaku pedofilia dalam upaya pencapaian kepuasan dirinya dengan siasat dan cara memperdaya si korban baik melalui bujukan dan atau pemberian sesuatu dengan harapan imbal balik maupun dengan cara paksaan. Pelaku pedofilia seperti pendapat para pakar kerap mengulang perbuatannya.
Dari pandangan hukum Islam seperti uraian di atas sangat tegas dan jelas bahwa pedofilia atau kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, termasuk dalam perbuatan keji seperti berzina dan homoseksual. Agama Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari atau menjauhi perbuatan keji. Bahkan Sabda Rasulullah SAW, sangat tegas, "Jika kalian mendapati orang-orang yang melakukan hubungan sesama jenis seperti kaum Luth, maka bunuhlah.”
Untuk menghidari perbuatan keji, sebagai orang yang beragama Islam umat Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam tentu saja harus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Islam mengharuskan kita untuk melakukan ibadah dan taqwa untuk menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang Allah SWT larang. Dirikanlah sholat.
Perintah ini tertuang dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Artinya :
Dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Asas pembinaan masyarakat Islam ialah iman kepada Allah SWT yang mewajibkan setiap umatnya untuk beriman kepada-Nya. Bagi Allah, imanlah yang menjadi asas pembinaan masyarakat. Kewajiban beriman kepada Allah bertujuan untuk menjadi pegangan dalam pembinaan masyarakat dan dipraktikkan dalam kehidupan serta dapat mengikat perasaan, pikiran, dan nurani manusia dengan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, manusia tidak akan menyeleweng ataupun keluar dari jalan yang benar dalam perjalanan hidupnya bersama manusia lain.

















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah Peneliti membahas permasalahan sesuai dengan data dan analisa, maka Peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses penyidikan dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dengan melakukan upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan. Dalam penahanan, dilakukan perpanjangan penahanan karena pemeriksaan terhadap tersangka belum selesai yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya. Dalam pemanggilan saksi untuk diminta keterangan tanpa disertai dengan surat pemanggilan saksi sesuai dengan isi Resume Kepolisian (Polda Metro Jaya).
2. Penuntutan Jaksa Penuntut Umum menitik beratkan pada perbuatan cabul, dan kegiatan seksual, sebagaimana tercantum dalam Pasal 82 Undang undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 (KUHP) Kitab Undang Hukum Pidana.
3. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana pedofilia dimana Majelis Hakim mendakwa terdakwa telah melanggar Pasal 82 Undang undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena unsur-unsur dakwaan terbukti maka hakim memutuskan untuk menghukum terdakwa karena terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pencabulan dan diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
4. Pedofilia dalam pandangan hukum Islam dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan seksual, penyimpangan seksual terdapat didalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151, penyimpangan seksual merupakan salah satu hal yang dilarang Islam karena merupakan induk dari segala perbuatan yang sangat tercela dan keji karena merugikan orang lain, dan membahayakan orang lain.

B. Saran
Dari kesimpulan di atas Peneliti dapat memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi berbagai kalangan, yaitu sebagai berikut:
1. Agar penanggulangan tindak pidana Pedofilia lebih efektif, diperlukan adanya kerjasama antara penegak hukum dengan seluruh aparat masyarakat dalam memberantasnya.
2. Penerapan hukum dalam setiap perkara tindak pidana Pedofilia yang dilakukan oleh terdakwa diberikan sanksi yang maksimal dengan tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku, dengan tujuan pelaku tindak pidana Pedofilia akan menjadi jera.
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ada merupakan peraturan yang sudah cukup berat untuk pelaku Pedofilia. Karena perbuatan tersebut telah menimbulkan korban dikalangan generasi muda bangsa ini.


















DAFTAR PUSTAKA



Buku

Arifin,Bey, Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an. Bandung: Alma’rif. 1995
Bawengan, G.W, Psychologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita. 1977.
Bawengan, G.W, Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pradnya Paramita. 1979.
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak. Cet. I, Jakarta: Akademi Pressindo. 1985.
Harahap, M, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini.
Muhammad Irfan dan Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Azazi Perempuan). Bandung: Refika Aditama. 2001.
Metrokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Edisi kedua. Cet. ke 2. 1999.
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya. Bandung: Alumni. 2007.
Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Cet. ke 1. 1997
Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4. 1986.
Soekanto, Soedjono, Pathologi Sosial. Bandung: Alumni. 1982.
Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Cet. ke I. 2003.
Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur. Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, Jakarta. 1987.
Sukandy, Sjarief. Muh, Tarjamah Bulughul Maram, Fiqih Berdasarkan Hadist. Bandung: Alma Arif. 1981.
Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 2004
Universitas Islam Jakarta, Pengantar Pola Pikir Ilmiah Islami. Jakarta:Universitas Islam Jakarta.2002.

Makalah

Mulyadi, Seto, Hentikan Kekerasan Terhadap Anak Sekarang dan Selamanya, Makalah Refleksi Akhir Tahun 2005 Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Soedijo, Justinus, Materi Kuliah, Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas Mpuantular. Fakultas Hukum. 2003.

Koran

Bukan Hanya Hubungan Intim, Jawa Pos, 5 Agustus 2001

Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Keputusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia nomor 77 tahun 2003.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Internet

Pedofil Manfaatkan Wisata Bali, , 8 Oktober 2006.
Jaksa Tetap Tuntut Robot Gedek Hukuman Mati, , 7 Mei 1997.
Pembunuh Serial Sedang Berkeliaran?, , 28 Februari 2005.
Tayangkan Saja Pedofil, , 9 November 2006.
Menjerat Pelaku Pedofilia dengan Undang Undang Perlindungan Anak, , 15 Mei 2005.
Parafilia, Penyimpangan Perilaku Seks, , 15 Februari 2004.
Menjenguk Identitas Kaum Homoseksual, , 10 Maret 2007.
Pedofilia Yang Mengancam Anak-Anak Kita..! , 12 Februari 2007.
Tayangkan Saja Pedofil, , 9 November 2006.
Pedofilia Belajar dari Kasus Mantan Diplomat, , 21 Mei 2005.
Pedofilia: Jaringan Kejahatan International , 10 Maret 2007.

Categories:

0 Response for the "PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA"

Posting Komentar